Quo Vadis PGRI Propinsi Banten Periode 2014-2019? Memilih Ketua PGRI Propinsi di
Banten tak boleh sekedar berdasarkan
popularitas, kedekatan emosional, kedekatan struktural dan chemistry dengan para guru dan pengurus.
Para pengurus calon konstituen harus cerdas melihat rekam jejak (track record) kandidatnya jika ingin
PGRI keluar dari aroma kooptasi penguasa dan permasalahan pendidikan yang
terpolitisasi lebih masif. Jabatan dan ketokohan seseorang yang menjadi landasan elektabilitas harus bisa
diukur dari rekam jejak selama ini. Para guru jangan terjebak pada visi kandidat
yang mengatasnamakan kepentingan guru dan organisasi. Sebab bagi penganut
kolonialisme, berbicara manis berisi dusta itu bukan hal yang ditabukan. Jika
ada pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan atau dinas-dinas lain yang melamar
untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Ketua PGRI, maka para calon konstituen
harus jeli menakar kadar kepentingan dan misi pribadi si calon. PGRI harus
menolak kandidat yang memiliki track
record pendukung status quo yang kini
sedang terundung rasuah. Sebab tidak mustahil PGRI di Banten di kemudian hari dilegalitaskan
sebagai salah satu alat pendukung kekuasaan yang sewaktu-waktu dikoyak para
pencari kebenaran (LSM, rival dan sebagainya).
Foto dokumen pribadi |
Tentunya
kehati-hatian yang terlintas di atas cukup beralasan. Ini bukan omongan lebay
tanpa dasar. Kaum intelek warga Banten semua tahu, bahwa hampir semua pejabat
di Banten adalah produk proses nepotisme. Proses ini dalam evolusinya mengakibatkan
kuatnya rantai dan jaring-jaring kekuasaan yang saling menopang. Karena mereka
yang masuk ke system mau tak mau harus siap menjadi bagian dari proses politik
demi langgengnya kekuasaan. Sedangkan PGRI, harus sadar akan jati dirinya yang independen,
unitaristik, dan non partai. PGRI tidak berafiliasi dan beraliansi dengan
kendaraan politik mana pun. PGRI tidak
boleh dijadikan alat penekan oleh penguasa kepada pihak pencari kebenaran yang
mengkritisi ketua dalam kapasitasnya sebagai jajaran pemerintahan. Pun PGRI
tidak boleh dijadikan tangan-tangan penguasa melalui pengurusnya. Justru PGRI
adalah penekan (pressure) pemerintah
dalam mengawal kebijakan yang tidak pro tuntutan PGRI. PGRI jangan mau dicombo dengan fasilitas lengkap dan
mewah dari penguasa kalau harus kehilangan jati diri dan independensinya yang
mengakibatkan ompongnya gigi PGRI.
Tulisan ini
dibuat terdorong oleh adanya desas-desus bahwa salah satu pejabat instansi di Kota
Serang akan melamar menjadi calon Ketua PGRI propinsi Banten periode masa bakti
2014-2019. Dan desas-desus itu ternyata telah terbukti kebenarannya karena saya
sendiri sudah menghadiri undangannya untuk mengikuti audiensi calon pelamar
bersama sejumlah pengurus kota dan 18 pengurus cabang se-kota Serang. Pelamar
adalah seorang Kepala Dinas. Bagi kami, siapa pun yang akan menjadi ketua PGRI
Propinsi Banten tidak masalah, yang penting dia mampu menjalankan fungsi-fungsi
organisasi secara demokrasi dan independen. Jangan ada orang yang berambisi
menjadi pengurus PGRI semata-mata karena untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, apalagi PGRI hendak dijadikan alat menopang kekuasaan. Dan, siapa pun
yang berkeinginan maju menjadi calon ketua, sepanjang itu tidak bertentangan
dengan AD/ART PGRI, its Ok, karena itu adalah hak. Namun sekali lagi calon
konstituenlah yang harus mampu menilai siapa yang lebih integritif terhadap
kepentingan organisasi. Sebab mereka yang akan memilih harus sadar bahwa
dirinya merupakan refresentatif dari seluruh anggota yang diwakilinya.
Oleh karena itu,
mengingat hasil audiensi yang sudah digelar pada awal bulan ini di sebuah SMK
di Kota Serang, saya sangat khawatir. Kekhawatiran saya memang berdasar pada
penilaian subjektif saya sendiri. Namun Subjektivitas saya menurut saya rasanya
bukan subjektivitas buta. Artinya, bukan tanpa alasan yang jelas. Saya menilai
dengan catatan rekam jejak yang bersangkutan, yang menyimpulkan bahwa yang
bersangutan masih diragukan dalam hal akuntabilitas, kredibelitas, integritas
dan independensinya. Beliau belum pernah menjadi pengurus di tingkat mana pun,
sehingga belum ada standar penilaian yang dapat digunakan secara valid bagi
kami (belum teruji). Sedangkan rekam sejak lain yang berdasar pada jabatannya
kini, justru belum mampu memuaskan semua pihak. Sehingga walaupun ia orang yang
berkutat di ranah guru dan pendidikan, namun sebenarnya tidak ada nuansa
chemistry yang terbentuk dalam arti yang hakiki. Kedekatan emosional pun masih
sangat diragukan melekat pada benak para guru. Yang ada mungkin hanya sekedar
menghargai di depan yang bersangkutan, namun di belakang bersuara bising
berirama sama.
Betulkah
berirama sama? Berirama sama, itu memiliki makna bebas tak dipengaruhi makna sintaksis.
Namun kata bising merujuk bukan pada elektabilitas seseorang. Nah, justru
inilah yang menjadi pertanyaan saya setelah terselenggaranya audiensi tersebut.
Dari 6 orang perwakilan tiap PGRI Cabang, bersuara sama mendukung sepenuhnya
dengan beberapa alasan dan rasionalisasi yang masuk akal. Apakah betul apa yang
mereka sampaikan itu keluar dari hati nurani atau hanya cari selamat?
Mungkinkah mereka cari selamat dengan niat hati kecil menjerumuskan seseorang
(balon)? Saya berharap begitu, sebab alangkah tulinya mereka apabila suara
dukungan itu benar-benar suara hati nurani masing-masing. Betapa butanya mata
mereka memandang permasalahan yang terjadi selama ini. Bukti mana yang hendak
mereka ajukan bahwa yang bersangkutan punya track
record baik terhadap guru? Pernahkan mereka bertanya kepada semua Kepala
SMA di Kota Serang, tentang siapa dia? Dia tidak lebih dari seorang pejabat
yang tidak mengerti kata tegas. Tegas yang tidak konstruktif adalah cenderung
mendzolimi. Maka apabila ada guru yang menjadi korban kekuasaan yang
sewenang-wenang dari dinas pendidikan, sudikah kemudian kita menyebutnya pro
guru? Yang ada seharusnya malah menjegalnya membuang jauh-jauh dari kehidupan
guru dan dunia pendidikan dan bukan malah jadi orang nomor satu di rumah guru.
Anda bisa baca tentang Curhat Mantan KepalaSMPN 25 Kota Serang di blog ini. Tanpa menunjuk siapa orangnya, artikel tersebut cukup memberikan referensi kepada kita. Dari situ selayaknya semua orang harus
satu visi satu persepsi dalam memandang jejak tindak-tanduk si calon pemimpin
organisasi guru.
Sebagai
autokritik, kembali saya ungkapkan bahwa kepengurusan PGRI Propinsi Banten
belum maksimal menjalankan fungsi-fungsi organisasi selama ini. Belum ada
inovasi-inovasi yang membanggakan dari sisi pengembangan profesionalisme guru.
Yang banyak berkiprah masih sebatas sekretaris pada tupoksinya yang terbatas. Secara
pribadi, saya menginginkan ketua PGRI provinsi Banten diambil dari kalangan
akademisi kampus sekelas Dahnil Anzhar, misalnya. Saya juga mengharapkan adanya
pembaharuan dan peningkatan konten-konten bermutu dari Majalah PGRI Propinsi
Banten, di bidang pendidikan. Saya ingin melihat PGRI propinsi Banten sama
dengan PGRI Propinsi Jawa Barat ketika dipimpin Muhamad Surya. Kalau pun
ketuanya masih dari kalangan nonakademisi, saya berharap besar PGRI Propinsi
Banten dapat bekerja sama dengan para penulis pendidikan dari kalangan kampus
untuk meningkatkan mutu layanan majalah suara guru Banten.
Akhir kata,
semoga PGRI semakin bergairah dalam mendedikasikan dirinya sebagai wadah
perjuangan guru dan dunia pendidikan. Dan, keterlibatan aktif anggota dalam
berpartisipasi, bukan hanya berarti keterlibatan menjadi anggota saja. Akan
tetapi partisipasi yang lebih dari itu, yaitu semakin masuk pada keterlibatan
mental, pikiran, dan emosi dalam situasi kelompok yang mendorong memberikan
sumbangan kepada organisasi dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung
jawab terhadap upaya yang diperjuangkan.
Semoga.
Saya yakin semua aktivis yang berkiprah di bidang pendidikan, terutama guru yang masih memiliki sisa-sisa idealisme, akan berpikiran sama dengan apa yang diungkap dalam artikel ini. Akan tetapi manusia memiliki sifat "owah gingsir" (mudah merubah) karena berbagai faktor kepentingan. Andai kita masih berjiwa idealisme, tentunya wajib menyampaikan dan mengingatkan bahwa yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Walaupun kita tahu bahwa menyampaikan yang benar itu berat. Tapi ... kalau boleh saya sarankan, usahakan sampaikan dengan bahasa yang konotatif, tapi bermakna tajam. Saya yakin para pembaca mampu menggali maksud yang terkandung dalam tulisan kita.
BalasHapusTerima kasih.
~ Masukan yang produktif. Faktor kepentingan bisa gingsirnya seseorang, karena kepentingan itu sendiri diciptakan. Maka keluar dari kategori orang idealis dan cenderung patut dikatakan sebaliknya adalah hipokrit, heheh
Hapus~ Saran yang baik sekali, walaupun hal itu tergantung tendensius si penulis. Terpaksa saya harus belajar bahasa konotasi. Terima kasih banyak