Di Balik Senyum Sang Ratu di Reklame Pajak Propinsi Banten . “Mari Membayar Pajak untuk Membangun Banten”. Itulah isi pesan reklame pemerintah provinsi Banten yang berukuran sangat besar dipasang di banyak titik strategis kota di wilayah kekuasaan provinsi Banten.
Dengan reklame itu Gubernur Banten seolah komitmen untuk terus mendongkrak meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Banten, walaupun baru sebatas reklame tanpa dibarengi kerja kreatif para pemangku kepentingan di jajaran dispenda. Padahal, kalau saja mau turun ke lapangan, sebenarnya dari pabrik kecil dan menengah saja masih ada pendapatan yang bisa digali. Menurut informasi dari teman saya yang bekerja di dispenda provinsi Banten, mengatakan bahwa masih banyak pabrik kecil dan menengah belum tersentuh sebagai wajib pajak air bawah tanah.
Menurut informasi yang saya baca, PAD Banten pada tahun 2007 hanya sebesar Rp1,9 triliun. Kemudian pada tahun 2010 naik menjadi Rp3,1 triliun. Berarti dalam kurun waktu 3 tahun ada kenaikan sebesar Rp1,2 triliun. Dan menurut catatan-catatan yang saya ikuti dari waktu ke waktu selama Ratu memimpin Banten, PAD Banten memang selalu ada peningkatan. Menurut hemat saya ini mustahil terjadi kalau tidak ada upaya yang nyata dari para pemangku kepentingan. Misal, karena 90% PAD ditopang dari sektor pajak kendaraan bermotor, maka dispenda senantiasa bekerja sama dengan pihak polantas/samsat untuk mengadakan operasi kendaraan bermotor sebagai warning kepada masyarakat.
Masalahnya sekarang adalah, apakah peningkatan PAD Banten itu sebanding dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat Banten? Kalau masyarakat Banten selalu mengikuti ke mana Sang Ratu beribicara di forum publik, pasti akan mendengar paparan Sang Ratu yang selalu tidak ketinggalan menyinggung bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) trend-nya selalu meningkat. Satu pernyataan yang tidak pernah diamini oleh salah seorang pengamat dari Untirta, Dahnil Anzar. Bahkan Dahnil Anzar mengibaratkan Provinsi Banten ini seperti sebuah keluarga kaya raya dengan pendapatan besar namun anak istrinya tidak terurus dan diabaikan. Betulkah?
Kalau Dahnil Anzar, satu-satunya orang yang getol mengkritisi pemerintah provinsi Banten, pernah mengatakan bahwa ada indikasi penggunaan APBD lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan birokrasi dan kekuasaan dan kurang menyentuh pada penyelesaian permasalahan sosial ekonomi masyarakat, kini semuanya dapat dibenarkan. Fakta sudah membuktikan dengan gamblang kepada masyarakat Banten, dengan ditangkapnya Sang Ratu oleh KPK terkait penyelesaian sengketa pilkada Lebak tempo hari. Selanjutnya berdasarkan laporan-laporan yang masuk ke KPK, ternyata KPK juga menemukan kasus korupsi di Banten yang amat mencengangkan kita semua.
Satu kasus korupsi bernilai miliaran telah terbukti, maka tidak mustahil semua proyek yang sejatinya semaksimal mungkin untuk rakyat, dikeruk untuk menggelembungkan pundi-pundi pribadi dan keluarga demi kekuasaan yang serakah. Prestasi meningkatnya pendapatan asli daerah, hanya akan membuat berbanding lurus dengan peningkatan pundi-pundi keluarga dan bukan pada perubahan sosial ekonomi masyarakat. Harus menyesalkah masyarakat Banten bayar pajak? Tidak, sebab bayar pajak adalah kewajiban warga kepada Negara. Dan orang bijak taat pajak, serta kebijakan itu juga harus ikhlas dan berpihak pada kebenaran aturan. Tidak usah masyarakat menghakimi penghianatnya, karena ada KPK dan pengadilan. Masyarakat cukup mempertebal keyakinan firman Allah saja bahwa “kejahatan suatu saat akan hancur”. Namun, bijak bukan berarti diam melihat kemungkaran dan ketidakadilan. Maka tetap masih disebut arif dan bijak jika masyarakat Banten khususnya, mengharapkan pelaku pendzolim rakyat dihukum seberat-beratnya sekaligus dimiskinkan.
Di Balik Senyum Sang Ratu di Reklame Pajak Propinsi Banten
Rakyat Banten yang sejak kepemimpinanya sudah mengendus saratnya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di pemerintahan provinsi Banten, tak akan bergeming jika membaca isi pesan reklame di atas. Mereka membayar pajak bukan karena ketaatan terhadap ajakan pemimpinnya, tapi karena takut hukum dan atas dasar kesadaran semata. Mereka melangkahkan kaki membayar pajak demi tunainya kewajiban kendati tersemayam rasa pesimistis terhadap laju kembangnya pembangunan Banten. Senyum manis Sang Ratu yang terkulum, tidak akan membuat mereka simpatik, yang ada adalah senyum balik pembaca yang penuh sinis. Sikap sinis timbul, karena belum tentu yang jadi model reklame itu juga bijak dan taat pajak. Sikap pesimis terpatri, karena adanya anggapan percuma penghasilan sektor pajak meningkat apabila sebagian digerogoti untuk membangun dinasti.
Lagi-lagi, sinisme masyarakat Banten menemukan buktinya. Baru-baru ini KPK menggeledah Hotel Ratu milik Sang Ratu di Serang. Ternyata, ditengarai hotel tersebut belum membayar pajak selama 6 bulan. Jadi, pepatah “orang bijak taat bayar pajak” yang menjadi alat persuasive Sang Ratu tadi hanya slogan belaka. Pepatah itu artinya adalah jika seseorang membayar pajak, maka ia dapat dikategorikan sebagai orang yang bijak. Jadi, dalam kasus hotel Ratu, pemilik hotel bukanlah orang bijak. Oke, masalah pajak hotel secara administratif adalah kewajiban manajemen hotel. Tapi ini adalah lagi-lagi contoh yang jelek dari perusahaan seorang penguasa. Apa kata dunia?!!
Bukankah anak buah akan menakuti bosnya atau pemimpinya jika ia seorang yang tegas? Anak buah atau bawahan akan mengikuti arah kebijakan yang diterapkan atasan. Jika pemimpinnya anti korupsi maka anak buah akan takut korupsi. Jika pemimpinnya korupsi, maka kemungkinan besar anak buah akan ikut-ikutan bahkan menjadi bagian dari jejaringnya. Oleh karena itu, sejatinya seorang pemimpin yang mengajarkan A, maka ia harus lebih dahulu melakukan A. Dalam hal ini manajemen Hotel, sepertinya mengikuti kondisi psikis sang pemimpin. Manajemen merasa aman karena perusahaannya milik penguasa yang kering dengan teladan nyata. Seolah mereka paham benar bahwa senyum manis sang juragan hanya pura-pura.
Hal yang paling menyakitkan rakyat adalah senyumnya yang bak seorang putri penuh wibawa sejuta pesona, namun menipu rakyat. Rakyat diajak bayar pajak, hasilnya sebagian besar dibajak. Padahal, rakyat tahu bahwa esensi pajak adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Untuk rakyat yang ada di Banten, dan bukan untuk mendidik adiknya untuk menguasai Jenifer Dunn serta wanita lainnya yang tak terhitung di seantero kota besar. Pajak adalah manifestasi rakyat dalam bersumbangsih dalam proses pembangunan untuk perubahan yang lebih baik. Membayar pajak adalah sifat bijak untuk turut serta membangun kebersamaan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama-sama.
Petir, 14 Februari 2014
Ungkapan keprihatinanku
Walaupun perkataan "miskinkan" itu agak mengandung emosional, tapi ada baiknya itu dilakukan semata-mata untuk pembelajaran dan keadilan. Kalau perlu sampai kepaa kroni-kroninya. Muncul pertanyaan siapa sajakah kroni-kroninya?
BalasHapusTepat, jadi setuju, itu jauh lebih baik bagi terdakwa daripada mengikuti tuntutan hukum rakyat "Hukum Mati"
Hapusinfonya bermanfaat,,nice post
BalasHapus