Judul Hukum Wakaf Barang-Masjid di atas adalah hasil adaftasi dari judul aslinya “Wakaf, Masjid, Pondok dan Madrasah” yang ditulis oleh K.H. Muhibbul Aman Aly. Semoga Bapak K.H. Muhibbul Aman Aly tidak mempermasalahkannya. Karena artikel ini tidak seutuhnya saya ambil keseluruhan, maka itulah alasan saya merubah judulnya.
Masjid Jami Syekh Zaini Arif |
Artikel yang saya posting ini berkait dengan informasi yang terjadi di wilayah Petir Kabupaten Serang Banten. Bahwa Kecamatan Petir Kabupaten Serang kini memiliki lagi satu icon baru yang akan cukup memberi warna dalam kehidupan keagamaan, yakni sebuah Masjid megah dari wakif Arab Saudi. Nama wakif itu adalah Faoziah Irsyad (isteri almarum Syekh Zaini Arif) dan anak-anaknya. Ketika artikel ini diposting, kondisi bangunan masjid dalam tahap 95 % (finishing). Letak masjid tepatnya di Kampung Lembur Jati Desa Mekar Baru Kecamatan Petir Kabupaten Serang, Banten Indonesia. Berkaitan dengan hukum wakaf masjid, berikut penjelasannya.
Wakaf secara bahasa adalah mengekang. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Dasar hukum wakaf ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم
“Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya”. HR.Muslim.
Para ulama menafsiri kalimat “shodaqoh jariyah” dalam hadits di atas dengan wakaf.
Wakaf dapat terbentuk apabila terpenuhi pilar-pilar utamanya.
- Wakif/orang yang wakaf.
Wakif disyaratkan harus orang yang sudah baligh dan aqil. Wakaf anak yang masih belum baligh atau orang yang gila hukumnya tidak sah. Sedangkan wakaf dari orang kafir hukumnya sah.
- Mawquf/barang yang diwakafkan.
Syarat obyek yang dapat diwakafkan harus benda yang dapat dimanfaatkan tidak dengan merusak bendanya. Maka tidak sah hukumnya wakaf lilin karena penggunaannya dengan merusak bendanya. Demikian pula tidak sah mewakafkan uang tunai, karena pemanfaatannya dengan cara dibelanjakan.
- Shighot/kalimat wakaf.
Shighot wakaf harus diucapkan secara lisan, tidak cukup dengan diucapkan dalam hati saja (niyat). Sedangkan shighot wakaf dalam bentuk tulisan dianggap sah jika disertai dengan niyat saat menulis. Jika seseorang membuat bangunan bentuk masjid dan mempersilahkan untuk dijadikan tempat shalat, yang demikian ini masih belum dianggap wakaf sehingga bangunan tersebut statusnya masih tetap menjadi milik yang bersangkutan karena tidak terdapat kalimat sighot wakaf. Kecuali jika mempersilahkan bangunan tersebut untuk ditempati I’tikaf, maka hukumnya menjadi masjid.
Berkata Ibnu hajar Al-haytami: Yang demikian ini dikarenakan i’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di masjid sehingga pemberian ijin dari yang bersangkutan untuk beri’tikaf di bangunan tersebut mengisyaratkan bermaksud dijadikan sebagai masjid. Berbeda dengan hanya sekedar mempersilahkan untuk ditempati shalat saja.
Berkata Ibnu hajar Al-haytami: Yang demikian ini dikarenakan i’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di masjid sehingga pemberian ijin dari yang bersangkutan untuk beri’tikaf di bangunan tersebut mengisyaratkan bermaksud dijadikan sebagai masjid. Berbeda dengan hanya sekedar mempersilahkan untuk ditempati shalat saja.
- Mawquf ‘alaih/penerima wakaf.
Ada dua macam penerima wakaf:
- Mawquf ‘alaih mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada perorangan tertentu yang disebutkan oleh wakif, baik satu orang atau lebih.
- Mawquf ‘alaih ghoyru mu’ayyan. Yaitu, wakaf kepada orang yang tidak ditentukan, seperti kepada golongan fakir miskin, santri pondok, kaum muslimin dan lain-lain.
Dalam wakaf kepada mawquf ‘alaih mu’ayyan, disyaratkan harus sudah wujud mawquf ‘alaihnya ketika shighot wakaf diucapkan, maka tidak sah wakaf kepada orang yang belum lahir, atau kepada masjid yang belum dibangun. Sedangkan wakaf kepada mawquf ‘alaih ghoyru mu’ayyan disyaratkan tidak untuk tujuan ma’siyat, seperti gereja dan lain-lain.
Ada beberapa macam shighot dalam wakaf masjid:
- Sebidang tanah diwakafkan menjadi masjid, seperti perkataan wakif:
“aku jadikan tempat ini sebagai masjid”.
Dengan perkataan wakif seperti ini, menurut pendapat yang kuat hukumnya secara langsung tanah yang dimaksud menjadi masjid meskipun tidak terdapat bangunan masjid, sehingga hamparan tanah itu diberlakukan hukum masjid, seperti haram bagi yang berhadats besar berdiam di tempat itu, sah i’tikaf, sunnah shalat tahiyyatul masjid dan lain-lain.
Dengan demikian masjid tidak harus berbentuk fisik bangunan, meskipun berupa hamparan tanah kosong, jika oleh pemiliknya dijadikan masjid dengan shighot sebagaimana diatas, maka sah hukumnya.
Dengan demikian masjid tidak harus berbentuk fisik bangunan, meskipun berupa hamparan tanah kosong, jika oleh pemiliknya dijadikan masjid dengan shighot sebagaimana diatas, maka sah hukumnya.
Oleh karena seluruh hamparan tanah tersebut statusnya langsung berubah menjadi masjid, maka pemanfaatan tanah tersebut secara keseluhuran harus difungsikan masjid, dan tidak boleh ada bagian tanah yang difungsikan untuk selain masjid, misalnya dibangun toilet, kantor dan lain-lain.
- Wakaf tanah agar dibangun masjid. Berbeda dengan bagian pertama, wakaf model ini, wakif tidak menjadikan tanah yang dimaksud sebagai masjid, tetapi dimaksudkan agar di atastanah itu dibangun masjid. Dengan demikian tanah yang diwakafkan tidak serta merta menjadi masjid, akan tetapi statusnya sebagai tanah wakaf yang disyaratkan oleh wakif agar dibangun masjid.
Wakaf model ini memungkinkan pembangunan fisik masjid sesuai dengan model masjid yang berlaku saat wakaf. Artinya, hamparan tanah itu tidak harus seluruhnya dibangun fisik masjid, dan boleh dibangun beberapa fasilitas pendukung masjid menurut yang berlaku pada saat itu, seperti kamar mandi, toilet, halaman dan lain-lain.
- Wakaf bangunan menjadi masjid. Artinya tanah dan bangunan yang sudah jadi, diwakafkan menjadi masjid, baik bangunan tersebut model masjid atau tidak. Wakaf masjid model ini menjadikan tanah dan bangunan tersebut dihukumi masjid setelah shighot wakaf diucapkan.
- Menghimpun dana untuk pembangunan masjid di atas lahan kosong yang bukan berstatus masjid. Artinya, uang atau barang yang terkumpul dari penyumbang digunakan untuk pembangunan masjid. Wakaf masjid model ini tidak memerlukan shighot. Karena bangunan yang berdiri dari hasil sumbangan itu dengan sendirinya berlaku hukum masjid meskipun tidak terdapat shighot wakaf dari penyumbang maupun pengurus masjid, sebab setiap bahan material bangunan yang sudah terpasang dalam bangunan fisik masjid dengan sendirinya menjadi masjid.
Adapun uang atau barang yang terkumpul dan dibelanjakan untuk pembangunan sarana penunjang masjid, seperti kamar mandi dan lain-lain, tidak dihukumi masjid, sebab pada saat penarikan sumbangan, masing-maisng penyumbang sudah dapat memahami bahwa uang atau material yang terkumpul dari para penyumbang tidak hanya dialokasikan untuk biaya pembangunan fisik masjid, tetapi juga untuk sarana penunjang lainnya.
Dengan demikian pengurus pembangunan masjid boleh mengunakan sebagian dari sumbangan yang terkumpul untuk pembangunan sarana penunjang masjid berdasarkan kerelaan dari penyumbang yang dapat diketahui dari kebiasaan yang berlaku dalam pembangunan masjid.
Dengan demikian pengurus pembangunan masjid boleh mengunakan sebagian dari sumbangan yang terkumpul untuk pembangunan sarana penunjang masjid berdasarkan kerelaan dari penyumbang yang dapat diketahui dari kebiasaan yang berlaku dalam pembangunan masjid.
Jika ada bangunan dengan model masjid, sedang kita tidak mengetahui secara pasti siapa yang membangunnya, apakah dibangun di atas tanah tak bertuan (ardlul mawat) atau tanah milik, dan apakah yang membangunya telah melafadzkan shighot wakaf atau tidak, maka diberlakukan hukum-hukum masjid atas bangunan tersebut, baik telah masyhur di kalangan masyarakat penyebutan masjid atau tidak. Demikian dikatakan oleh imam Ibnu Hajar al-Haytami.
Sementara menurut imam al-Romli disyaratkan bangunan itu telah masyhur dimasyarakat disebut masjid. Berkata Syekh ‘Ali Syibromalisi: Pendapat Ibnu Hajar yang paling mendekati kebenaran.
Dalam hukum Islam, kepemilikan atas benda yang diwakafkan kepada mawquf ghoyru mu’ayyan, seperti masjid, pondok pesantren dan semisal, sepenuhnya terlepas dari hubungan hak seseorang, dalam istilah fiqh disebut wakaf tahriri.
Berkata Syekh Ibnu Hajar Al-haytami: Menurut pendapat yang kuat, kepemilikan atas barang wakaf kepada perorangan atau bukan perorangan berpindah kepada Allah, yakni terlepas dari kepemilikan pribadi seseorang. Maka barang wakaf tidak menjadi milik wakif/orang yang mewakafkan juga tidak menjadi milik mawquf ‘alaih/penerima wakaf.
Pendapat lain mengatakan milik wakif. Ada pula yang mengatakan milik mawquf ‘alaih. Tetapi perbedaan pendapat ini berlaku pada wakaf yang dimaksudkan untuk diambil penghasilannya. Berbeda dengan wakaf yang jelas tahrir, seperti masjid dan wakaf untuk pemakamanan umum, maka para ulama’ sepakat kepemilikannya untuk Allah.
Oleh karena hak atas barang wakaf terlepas dari ikatan seseorang, maka agama memerintahkan harus ada orang yang megelola dan merawat benda wakaf. Dalam fiqh disebut nadhir.
Dalam kaitan pengelolaan masjid, kepengurusan masjid ada dua macam: nadhir dan qoyyim. Nadhir adalah orang yang bertanggung jawab atas perawatan, pemeliharaan dan pengembangan aset wakaf. Sedangkan qoyyim adalah pekerja lapangan yang bertugas membantu nadhir dalam menjaga, merawat serta memakmurkan masjid.
Penentuan orang yang bertugas sebagai nadhir dapat dilakukan melalui penunjukan langsung oleh wakif, artinya wakif mempunyai hak untuk menunjuk siapa yang akan mengurus harta yang diwakafkan. Apabila wakif tidak menunjuk seseorang yang bertugas sebagai nadhir, maka tokoh masyarakat (sulaha’ul balad) wajib menunjuk seseorang yang bertugas sebagai nadhir, jika tidak maka ia berdosa. Nadhir yang ditunjuk oleh wakif atau dibentuk oleh tokoh masyarakat dapat terdiri dari beberapa orang yang salah satunya ditunjuk sebagai ketua yang memiliki tanggung jawab penuh atas tugas-tugas nadhir.
Pejabat nadhir yang ditunjuk harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Al-‘adalah. Yakni, dapat dipercaya dan berkelakuan baik.
- Al-kifayah wal ihtida’ ilat tasaharruf. Yakni, memiliki kemampuan dalam mengelola harta wakaf.
Takmir Masjid
Istilah takmir masjid sebenarnya tidak dikenal dalam fiqh. Secara bahasa takmir berarti meramaikan. Takmir masjid berarti yang meramaikan masjid. Bisa jadi istilah yang populer di Indonesia ini merujuk pada ayat Al-qur’an:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٟٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ ﴿١٨﴾
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.QS:Taubah 9:18.
Apabila dilihat pada fungsi dan tugas-tugas takmir masjid yang terdiri dari beberapa pengurus yang memilki tugas dan wewenang sesuai dengan jabatannya, ketakmiran masjid ini adakalanya tercakup dalam fungsi dan tugas nadhir ada pula yang tercakup dalam fungsi dan tugas qoyyim.
Sumber : pesantren.web.id/
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar, Perhatikan ketentuannya !