Sahabat Petir Fenomenal, kali ini saya kabarkan bahwa Petir Fenomenal berkenan menambah label blog satu lagi yaitu Seni Debus Banten. Yang Insya Allah apa pun yang berkenaan dengan Seni Debus akan saya posting di sini sepanjang yang saya tahu dan atau saya liput. Ide ini muncul ketika saya kedatangan pengurus Padepokan Seni Debus Medal Suci TTKKDH yang intinya mengundang saya untuk hadir pada acara Milad atau Ulang Tahun TTKKDH. Lokasinya kurang lebih 150 meter dari rumah saya.
Ringkas cerita, dengan senang hati saya menghadiri acara tersebut dengan bawa bekal kamera untuk mendokumenkan atraksi-atraksinya berupa photo dan video. Bersama crew Banten TV saya sempat merekam wawancara Kang Bety crew Banten TV dengan Ketua Umum TTKKDH Provinsi Banten H. Maman Rizal. Ada pengetahuan baru yang baru saya dengar dari H. Maman Rizal, yaitu bahwa PENCA SILAT artinya (singkatan, red) dari Pendidikan Cara Silaturahmi. Saya baru dengar tentang itu, padahal sejak kecil saya sering ikut-ikutan acara latihan Debus/TTKKDH/Kelid tapi tidak ada yang pernah menyampaikan singkatan itu (mungkin saya yang katro), maklumlah, karena saya cuma nonton doang, bukan ikut jadi anggota, heheh…!
Tapi yang jelas, kata-kata H. Maman Rizal benar-benar membuktikan bahwa nilai silaturahmi perlu dijaga, terbukti dengan hadirnya beliau bersama rombongan. Padahal acara yang diselenggarakan adalah acara Milad di tingkat kecamatan (Cabang dengan 6 ranting).
Dalam setiap acara Milad, “keceran” merupakan kegiatan wajib bukan hanya anggota, tapi bagi semua tamu yang hadir (terutama anggota).
Sebelah Kiri depan : H. Maman Rizal |
Acara lainnya adalah sebagaimana umumnya acara ceremonial, yaitu diisi dengan sambutan-sambutan, antara lain Ketua Padepokan, Dewan Penasehat, Ketua Umum, Kepala Desa, Camat dan Kapolsek.
Pada tahun ini acara Milad TTKKDH Cabang Petir Kabupaten Serang Banten diselenggarakan di Padepokan Medal Suci Pimpinan Abah Sakun. Padepokan Medal Suci di bawah asuhan Pak Janiman ini Acara Miladnya sepenuhnya diliput oleh Banten TV dengan reporternya Kang Bety. Di sini Kang Bety didaulat untuk terlibat langsung main atraksi Debus. Video Kang Bety dipotong lidahnya dan dibacoki tubuhnya Insya Allah akan dilampirkan pada postingan yang akan datang
Kang Bety memegang mic |
Nah, sebagai mukadimah untuk label Seni Debus Banten, saya uraikan dulu sedikit tentang TTKKDH dan atau Debus (secara khusus tentang Debus dapat diikuti terus pada posting berikutnya).
Dalam perkembangannya aliran Penca Cimande yaitu setelah para murid menyelesaikan pendidikan di Bogor, mereka kemudian menyebar dan ada yang kembali ke daerah asal mereka masing-masing. Embah Buyah salah seorang murid Embah Main (dalam pertalekan berada di posisi 5 dan 6) kemudian kembali ke Kampung Oteng di Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak, selanjutnya melakukan petualangan ke daerah Lampung Peristiwa ini diperkirakan berlangsung dalam tahun 1948.
Urutan dengan air kembang 7 warna |
Embah Buya yang orang asli Kabupaten Lebak, sebelum berguru kepada Embah Main berprofesi sebagai pedagang tembakau yang menjual dagangannya ke Karawang. Di Karawang Embah Buya kemudian menikah dengan wanita Karawang bernama Asten yang juga adalah murid Cimande Mbah Main atau dikalangan warga Cimande (sebutan bagi murid Cimande) disebut Ibu Asten (wawancara dengan Agus Suganda) atau Embah Dosol (wawancara dengan Bapak Husin dan Bapak Ahmad Fatoni). Embah Buyah menerima pendidikan penca Cimande dari Embah Main yang mendirikan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, dimana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hilir merujuk pada posisi suatu tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir adalah menunjukkan letak kebun tersebut di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.
Igelan murid Medal Suci pada Milad TTKKDH |
Embah Buyah kemudian melanjutkan pengembangan penca Cimande di Lampung dengan membuka paguron yang menerima murid khusus orang-orang Jawa. Penerimaan murid dari kalangan orang Jawa dilatarbelakangi suatu kisah seperti yang dituturkan oleh Agus Suganda bahwa suatu waktu ada orang Melayu Lampung berniat berguru kepada beliau, ternyata kemudian si orang Melayu tersebut hanya ingin menguji kemampuan Embah Buyah. Embah Buyah tidak menyenangi hal itu sehingga beliau kemudian mengusir orang tersebut bahkan kemudian beliau menyatakan tidak akan mau menerima orang Melayu yang berasal dari Lampung.
Paguron Cimande Embah Buyah di Lampung kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Tampaknya Embah Buyah memberi nama paguronnya didasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau, dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande, kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKKDH yang disebut pertalekan Cimande. Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng dan mendirikan paguron TTKKDH di sana. Meski tidak diperoleh informasi kapan Embah Buyah meninggal dunia, namun TTKKDH terus berkembang sepeninggal beliau. Murid-muridnya meneruskan tradisi dan paguron TTKKDH dan sejak ditangani oleh Embah Ranggawulung nama TTKKDH melekat sampai sekarang pada perguruan silat Cimande ini.
Sumber lain memberikan informasi tentang TTKKDH adalah bahwa penamaan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir mengandung maksud semacam falsafah bagi setiap warga Cimande. Tjimande mengandung 2 pengertian yaitu kata Tji dalam bahasa Sunda berarti air dan mande berarti suci. Tari dikonotasikan dengan tanya atau pertanyaan. Kolot mengandung makna sesepuh atau orang yang dituakan ada juga yang mengartikan sebagai kata kesti atau membudayakan kebenaran. Kebon adalah suatu lahan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang halal atau bermakna wadah untuk mencapai keselamatan. Djeruk diartikan sesuai bentuk dan rasanya yaitu bentuk besar berarti manis, bulat berarti bersatu dalam satu wadah, dan kulitnya yang terasa pahit diartikan sebagai barang yang tidak bermanfaat. Hilir mengandung makna harus selalu merendahkan hati tidak sombong dan mengalah untuk menang, hilir yang berposisi di bawah juga diartikan sebagai tempat menampung apa saja kemudian disaring dan mengambil yang bermanfaat. Hilirpun juga diartikan penyelesaian masalah dengan musyawarah (Wawancara dengan A. Ridwan, tanggal 11 Juli 2002). Dari uraian di atas, maka Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir secara luas mempunyai pengertian: Dalam kehidupan selalulah berusaha mendapatkan sesuatu dari pekerjaan yang halal, dan jika menghadapi suatu masalah selesaikan dengan musyawarah atau meminta bimbingan kepada sesepuh atau orang yang mengerti permasalahan tersebut serta seyogyanya untuk selalu bantu-membantu (gotong royong) dalam melaksanakan kepentingan bersama. Pengertian di atas menempatkan TTKKDH sebagai alat pemersatu dengan misi utama (lihat pertalekan Bab IV) menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan individu maupun masyarakat.
TTKKDH juga memiliki ciri khas lain yaitu adanya prinsip “jika terpegang, kita memegang”. Paguron Cimande lainnya (disebut Cimande Girang) memilki prinsip lain yaitu “bila terpegang menyerang”. Prinsip TTKKDH lainnya adalah di setiap latihan selalu ada nyala lampu (pelita), ini dijadikan syarat pelatihan yang juga mengikuti perbuatan Embah Khaer ketika ia pegi ke tepi sungai Cimande. Oleh karena itu awal latihan Cimande bagi murid baru selalu dimulai pada malam hari terutama Kamis malam.
Jurus-jurus Penca Cimande dan TTKKDH
Dalam riwayat lahirnya Penca Cimande dikisahkan bahwa Embah Khaer mengadopsi gerakan tarung dua ekor binatang yaitu Harimau dan Kera. Menurut penuturan Agus Suganda, pada awal pelatihan atau sebelum terbentuknya TTKKDH belum ada istilah jurus-jurus Cimande, bahkan paguron resmi bernama Cimande pun belum ada, yang ada adalah jurus pamacan dan pamonyet yaitu pengembangan gerakan jurus serang-elak (istilah Agus Suganda timpa-buang) yang berasal dari tingkah kedua binatang tersebut.
Setelah terjadi perkembangan yaitu setelah masyarakat menerima penca Cimande ini, terjadilah persebaran ke seluruh Jawa Barat dan Banten kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dari segi teknik, jurus-jurus Cimande ada yang mengalami perubahan baik berupa penambahan ataupun perampingan, namun demikian perubahan tersebut tidak sampai menghilangkan esensi jurus dalam Cimande.
Gending Raspuzi mengemukakan bahwa secara umum pola dasar Penca Cimande menggunakan sistem perkelahian jarak jauh, yaitu mengambil jarak sepanjang langkah kaki dan sejauh ujung tangan dari lawan. Kegunaannya adalah menghindari serangan lawan. Adapun secara garis besar teknik Penca Cimande terdiri dari buang kelid, jurus pepedangan, dan tepak selancar (PR, Loc.Cit).
Jurus buang kelid merupakan kumpulan teknik pertahanan yang dilanjutkan dengan serangan, maksudnya adalah diharapkan murid dapat menguasai beberapa teknik yang menjadi dasar pengembangan naluri manusia untuk membela diri. Pepedangan yaitu latihan penggunaan senjata dengan memakai sepotong bambu berukuran ± 40 cm atau disesuaikan dengan pemakainya, maksudnya adalah selain untuk belajar menguasai beragam jenis senjata juga melatih kelincahan kaki dalam melangkah maupun perubahan posisi kuda-kuda.
Adapun tepak selancar adalah aspek seni dalam Penca Cimande yang berupa ibing atau tarian yang diambil dari beberapa jurus buang kelid (Ibid). Adapun maksud tepak selancar ini adalah bahwa Penca Cimande tidak semata-mata mengajarkan ilmu bela diri tetapi juga sekaligus memperlihatkan aspek keindahan suatu seni bela diri melalui pertunjukan tarian Cimande.
Pada TTKKDH, jurus-jurus Cimande disusun secara berurut dengan jumlah gerak jurus 19 buah dan 1 jurus tanpa gerak atau “rahasia” atau aya wenangan (Agus Suganda).
Diantara kesembilan belas jurus TTKKDH tersebut adalah Kelid Gede, Kelid Leutik, Po Jero, Po Luar, Selut, Timpa Sebelah, Gojrok, Getrak Luhur, Getrak Handap, Kepretan, dan Guntingan. Adapun jurus ke duapuluh atau jurus rahasia tersebut disebut demikian karena sifatnya lebih mengarah kepada aspek kerohanian yaitu kematangan seorang murid Cimande menyebabkan ia mampu mengendalikan diri atau bersifat seperti padi. Artinya jurus terakhir ini dikembalikan kepada sang murid sendiri untuk mencapai dan mengolahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Talek Cimande.
Perkembangan TTKKDH
Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKKDH di wilayah Kabupaten Lebak terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini. Kemudian meskipun tidak ada kepastian tentang jumlah muridnya, namun sepanjang waktu, jumlah murid TTKKDH cenderung mengalami penambahan.
Hal ini terjadi karena TTKKDH memiliki pola perekrutan murid baru yang cukup unik yaitu pada saat acara keceran sering ditampilkan atraksi berupa ibingan atau igelan yaitu pergelaran tarian silat yang diiringi musik tradisional. Dan meskipun sederhana, alat-alat musik yang terdiri dari gendang, terompet, dan gong mampu memukau penonton ditambah atraksi tarung silat yang diperagakan jawara-jawara TTKKDH.
Dari kondisi ini kemudian menimbulkan daya tarik bagi penonton yang belum menjadi warga TTKKDH. Agus Suganda menyebutkan setiap bulan ada sekitar 3 sampai 5 orang yang masuk menjadi murid diluar keluarga para jawara TTKKDH. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mencatat jumlah pasti murid-murid tersebut, sebab disetiap desa sebagai wilayah ranting TTKKDH di Kabupaten Lebak selalu ada beberapa keluarga TTKKDH yang artinya selain orang tuanya, anak-anaknya juga menjadi murid TTKKDH, dan Agus Suganda menjamin mereka bisa ditampilkan kapan saja. Tampaknya regerasi penurunan ilmu Cimande versi TTKKDH terus berjalan sampai saat ini.
Dalam perkembangannya Cimande yang dulu diklaim sebagai milik etnis Sunda (Jawa Barat dan Banten) kemudian menasionalisasikan diri dengan melakukan persebaran ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Mbah Buyah yang menerima Cimande dari Mbah Main di Karawang melanjutkan pengembangan dengan mendirikan TTKKDH justru di luar wilayah Jawa Barat dan Banten yaitu di Lampung yang dikenal sebagai daerah orang-orang Melayu. Lebih jauh dari itu pencak Cimande tidak hanya berada di Indonesia, mancanegara juga turut mengembangkannya dengan memakai pelatih-pelatih dari aliran Cimande Indonesia seperti Perguruan Pajajaran Nasional yang didirikan oleh Sidik Sakabrata di Belanda atau Perguruan Pencak Silat Mande Muda yang didirikan oleh Herman Suwanda di Amerika Serikat. Ini mengindikasikan bahwa budaya leluhur bangsa Indonesia tersebut diterima berbagai pihak dan berbagai kalangan.
TTKKDH tidak pernah melakukan promosi khusus untuk menerima murid baru, mereka para calon murid datang sendiri kemudian diperlihatkan Talek Cimande dan diberikan pengarahan seperlunya tentang TTKKDH, setelah itu keputusannya diserahkan kembali kepada mereka apakah tetap mau masuk menjadi murid atau tidak. Demikian ungkapan Agus Suganda tentang pola perekrutan murid bagi TTKKDH. Biasanya setelah diberikan informasi mereka menyatakan persetujuannya, lanjutnya. Ini berbeda dengan beberapa perguruan silat lain yang melakukan promosi secara langsung untuk menerima murid baru, misalnya perguruan Santria Nusantara (perguruan ini lebih mengarah kepada teknik penyaluran dan pemanfaatan nafas terutama untuk pengobatan, tetapi dimasukkan sebagai anggota IPSI) yang secara berkala melakukan promosi melalui berbagai media. Bagi TTKKDH calon murid tidak perlu dipanggil, mereka akan datang sendiri untuk berlatih setelah persayaratan disetujui. Jadi sifatnya adalah kesiapan calon murid diutamakan sedangkan kesiapan pelatih selalu tersedia. Ini dimungkinkan sebab pelatihan TTKKDH berlangsung di malam hari dimana biasanya jawara TTKKDH melakukan aktiftas rutin di siang hari dan pada malam harinya mereka beristirahat jika sedang tidak berlatih. Apalagi bila tiba malam Jumat (Kamis malam) yang merupakan malam wajib latih bagi murid TTKKDH.
Adapun mengenai jumlah murid TTKKDH sampai dengan tahun 2002, Agus Suganda menyebutnya “sangat sulit dihitung”. Ini terjadi karena selain tersebar mereka rata-rata terdiri dari kaum keluarga, meskipun beberapa diantaranya berasal dari lingkungan luar keluarga. Bukan berarti tidak ada catatan tentang sang calon murid, sebab sebelum resmi menjadi murid, calon murid diharuskan mengisi semacam formulir yang sebenarnya adalah biodata. Tujuannya adalah untuk mengetahui data diri murid tersebut. Alasan penggunaan biodata ini lebih bersifat informal yaitu untuk kebutuhan sang pelatih sendiri bahwa dia telah mengajar simurid. Bagi sang murid boidata tersebut dapat menjadi bukti bahwa dia juga warga TTKKDH yang mendapat pengajaran dari gurunya tersebut.
Pada saat ini pusat TTKKDH yang berada di kota Serang telah membuat kartu anggota mempunyai masa waktu 2 tahun, tetapi belum semua murid TTKKDH mendapatkan fasilitas tersebut. Penggunaan masa berlaku kartu 2 tahun mengandung maksud bahwa dalam masa tersebut sang murid atau warga TTKKDH belum melanggar Talek Cimande. Juga menjadi pertimbangan (semacam ikatan waktu meskipun dibuat selonggar-longgarnya) bagi murid TTKKDH untuk beralih perguruan atau keluar sama sekali. Namun demikian mengurut dari isi Pertalekan Cimande sepanjang tidak melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan tetap menjadi murid TTKKDH sekalipun tidak pernah lagi melakukan latihan.
Dampak yang Ditimbulkan
Aktifitas dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan hukum kausal yaitu sesuatu yang bersebab dan akhirnya berakibat. Demikian pula TTKKDH. Menjadi murid TTKKDH adalah suatu kebanggaan karena selain memiliki ilmu beladiri, secara tidak langsung juga menjalin hubungan secara luas dari berbagai latar belakang. Di sisi lain TTKKDH menjadi wadah pemersatu bagi murid-murinya yang berasal dari beragam identitas dan intensitas.
Dampak lain yang dirasakan adalah terciptanya jiwa mandiri dan berani mempertahankan yang hak. Seorang jawara memang dituntut untuk percaya diri pada kemampuan dari sendiri sebatas kesanggupan yang dimilikinya
kalau di daerah pandeglang banten ada perkumpulan debus gak bang? selama ane disana kira-kira 3 bulan gak nemu. padahal rencana mau meliput buat laporan.
BalasHapusKalau jenis-jenis padepokannya (misalnya TTKKDH) di daerah Banten di mana saja ada Kang, tapi memang tdk semua daerah mengembangkannya dalam bentuk atrkasi debus. Rasanya secara khusus di Pandeglang tdk ada, tapi orang-orang yg bisa debus banyak (Misalnya, di kampus kalau ada permintaan tampilan debus perwakilan dari Pandeglang suka gabung).
HapusSory ni kang telat baca maklum gaptek........di Pandeglang tu pusat debus banyak, salah satunya di desa Kadu Lawang perguruan Macan Putih, salah satu perintisnya yang pernah mengharumkan nama bangsa ini, beliau pernah beberapa kali ke mancanegara. Tq
HapusSebelumnya terima kasih Kang telah mampir ke lapak ini. Apa yg disampaikan Kang Goffar adalah benar, sbb saya pernah konfirmasi kpd salah satu kasepuhan debus mengatkan justru katanya di sana juga banyak. Tapi saya lupa terus tuh mau merevisi komen atas jawaban Kang Dirga Bsc. Dua kali saya hrs terima kasih ni kpd Kang Goffar atas pencerahan dan infonya. Sekaligus sbg revisi jawaban sy utk Kang Dirga Bsc.
Hapusterus lestarikan gan
BalasHapusdi Malingping juga ada
BalasHapusdi Malingping juga ada
BalasHapus