Apa yang dimaksud dengan belajar
bermakna?
Belajar bermakna (meaningful learning) yang digagas David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama.
Belajar bermakna (meaningful learning) yang digagas David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam
prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian
yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif
siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat
pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktifitas,
dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
- Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
- Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
- Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
- Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna
menurut Ausubel, yaitu:
- Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memiliki strategi belajar bermakna,
- Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
- Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa.
Jadi belajar bermakna (meaningful
learning) itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai
oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau
situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif
siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta
belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan
pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik
dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka
guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah
dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan
diajarkan.
Dengan kata lain,
belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya
dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru
menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses
interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran
ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman
dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya
proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan
lingkungannya. (Sumber : http://www.anakciremai.com/2011/11/pengertian-belajar-bermakna.html,
diunduh tanggal 11-02-2012).
Jika dilacak lebih jauh,
sebenarnya pembelajaran kontekstual dan pembelajaran yang menyenangkan sejalan
dengan prinsip bahwa pembelajaran harus bermakna (meaningfull learning),
yang antara lain diajukan oleh Ausubel. Menurut pemikiran tersebut,
pembelajaran haruslah bermakna bagi yang belajar, yaitu siswa. Artinya apa yang
dipelajari oleh siswa bermanfaat bagi siswa. Di sinilah yang seringkali terjadi
salah paham. Seringkali guru dan orang tua sangat yakin bahwa apa yang
diajarkan kepada anak/siswa adalah sesuatu yang bermanfaat bahkan sangat
bermanfaat. Di lain pihak, siswa/anak tidak merasakan manfaat itu. Mengapa
demikian? Karena pola pikir keduanya berbeda. Orang tua atau guru melihat
manfaat tersebut untuk jangka panjang, misalnya dengan mengatakan “ini penting
untuk kamu setelah dewasa nanti”. Di pihak lain siswa/anak tidak memahami apa
yang dimaksud setelah dewasa, karena melihat manfaat pada saat sekarang
(Muchlas Samani, 2011 : 164-165).
Masih menurut MuchlasSamani, bahwa dampak terjadinya perbedaan pemahaman tersebut menyebabkan anak
tidak termotivasi untuk belajar, karena tidak mengerti manfaat dari apa yang
dipelajari. Sementara orang tua/guru yakin akan manfaat itu, sehingga minta
anak/siswa belajar dengan sungguh-sungguh. Padahal seperti dijelaskan di atas,
siswa akan termotivasi belajar, kalau merasakan apa yang dipelajari bermakna
baginya. Bermakna artinya sesuai dengan kebutuhannya, baik terkait dengan hobi
maupun kebutuhan saat itu atau paling tidak dia yakin akan manfaat itu.
Di situlah pentingnya guru mengaitkan apa yang
dipelajari dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual dengan kehidupan
keseharian) dan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa
(kontekstual dengan perkembangan kognitif mereka). Dengan cara itu siswa akan
memahami makna apa yang dipelajari bagi dirinya, sehingga akan menumbuhkan
motivasi belajarnya.
Trims.... Artikelnya bagus, saya tertarik
BalasHapusSama-sama, terima kasih
Hapusbermakna postingannya pak!!
BalasHapusWelcome To Blog The DAS
Artikelnya bagus,sagat membantu.
BalasHapusArtikelnya bagus,sagat membantu.
BalasHapusTerima kasih Mas Andi
Hapus