Kita mafhum usia pendidikan telah berjalan beriringan
dengan usia peradaban manusia. la ada dan
terus berkembang karena tak bisa dipisahkan dari keberadan manusia
pada .Pada dasarnya tak ada manusia yang tak membutuhkan pendidikan.
Hal itu dikarnakan adanya hasrat alamiah manusiawi. Hidup
mesti lebih baik dan lebih berkualitas dari
sebelumnya. Sebab itu, perubahan merupakan konsekuensi yang logis dan penting. Yang
dimagsud dengan perubahan ini adalah bergantinya tatanan dan nilai-nilai kehidupan
yang tradisional menjadi modern dalam
arti kualitas.
Jika bersandar pada pernyataan di atas selain musabab
keberadaan dan berkembangnya pendidikan hingga sekarang pendidikan ternyata memainkan
peran yang utama dalam kehidupan dan peradaban. Tak hanya utnuk individu
melainkan pula untuk kulaitas sebuah bangsa. Karenanya, paradigm lama yang
terlanjur mengasumsikan pendidikan sebagai sekolah formal semata-mata mesti
segera dilipat dan digunting.
Pendidikan bukanlah sebidang ruang yang mengandaikan
adanya guru untuk mencekoki peserta didiknya dengan berlembar-lembar teori. Itu
pikiran using dan naïf. Pendidikan adalah napas di setiap aktivitas kehidupan.
Semua aspek dalam kehidupan mestilah dijadikan arena pergulatan pendidikan.
Ini berarti pula bahwa pendidikan bukanlah milik segelinitir
atau sekelompok orang yang berlimpah dana melainkan hak dan kewajiban semua
anak bangsa. Karenanya, label pelajar jangan lagi hanya dilekatkan kepada
peserta didik yang mengenyam bangku sekolah formal atau kampus-kampus
universitas. Jika logika dan semangat keadilan semacam ini diterima maka apa
yang disebut dengan learning society bukan lagi sekadar jargon.
Tak cukup hanya pada soal pemerataan, sebab pendidikan,
sedari mula adanya, bercita-cita membangun dan mengembangkan kualitas sumber
daya manusia. Masalahnya, bagaimanakah pendidikan yang berkualitas itu.
Setidaknya, menurut hemat saya, pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang
berorientasi untuk membentuk peserta didiknya menjadi subyek yang berperan bagi
dirinya dan orang lain.
Pendidikan macam ini dituntut untuk mengembangkan
keutuhan setiap peserta didik agar mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan semua
kemampuannya. Baik aspek intelektual maupun emosionalnya dengan baik.
Menarik apa yang dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam
bukunya Emotional Intellegency bahwa IQ hanya
menyumbangkan 20 % dari kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya ditentukan oleh
factor intelektual dan emosional. Kian jelaslah bahwa pendidikan yang
berkualitas ternyata bukan menjuruskan (kalau tidak mau dikatakan
menjerumuskan) pada kuat atau banyaknya hapalan sang peserta didik.
Adalah keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan
emosional bahkan kini ditambah dengan spiritual meruapakan titik tekan yang tak
bisa ditawa-tawar lagi bagi institusi pendidikan modern. Dari sini ide dan cita-cita
civil society (masyarakat modern) itu lahir. Sebaliknya betapa naïf hal itu
akan bisa terwujud bila anak-anak bangsanya lost
educated.
Agar pendidikan bangsa ini dapat menggapai cita-cita
tersebut merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa untuk mencari dan mencipta
terobosan-terobosan baru yang inovatif dalam setiap muatan kurikulumnya.
Sejatinya, agenda tersebut memang bukan yntuk dipikul oleh pemerintah sendiri
melainkan pula butuh control dan masukan dari pihak sekolah dan masyarakat pada
umumnya. Hal itu berlaku mengingat pendidikan merupaka proyek besar idealis dan
berkelanjutan. Alangkah gegabah jika pendidikan hanya diserahkan ke pundak
pemerintah. Alih-alih beres malah dijadikan proyek politik yang cenderung
berorientasi sesaat.
Tentu kita berharap pendidikan berkualitas bukan hanya
cuap-cuap berbusa di arena kampanye lima tahunan. Sebab kita mafhum dan amat
berharap pendidikan berkulaitas dapat menciptakan conscious community. Hanya lewat
pendidikanlah masyarakat menjadi dewasa dan bijaksana. Sayangnya pada
bangsa-bangsa yang belum maju seperti di negeri ini pendidikan tak jarang
dipandang sebagai masalah besar yang memberatkan. Baik dari aspek ekonomi
maupun yang lainnya. Padahal, jika direnungkan secara jernih dan mendalam
pendidikan meruapakan conscientiacao (meminjam
istilah Freire) atau jalan keluar bagi siapa pun yang ingin bangkit dari
keterpurukan hidupnya.
Dengan pendidikan para peserta didik (terutama dari
kalangan yang kurang mampu diharapkan melek huruf, pandai menulis, cerdas
berhitung, mandiri, berprestasi, dan berwawasan luas. Tak ada alasan sedikit
pun yang pantas dibenarkan untuk pikiran-pikiran yang ingin mengganjal apalagi
melenyapkannya.
Justru akses-akses sekecil apaun demi tumbuhkembangnya
pendidikan mesti dibuka seluas mungkin sebab manfaat yang dapat dipetik darinya
adalah ibarat lingkaran mutualistic : terbitnya pencerahan, terangnya alur
hidup, kemudian berbagi untuk semua. Dalam prose ini tentunya telah terkandung
daya belajar yang mempraktikan nilai-nilai modern. Terutama ihwal life skill
sekaligus menjadikan peserta didik mampu mrengembangkan nilai-nilai social. Di sinilah
kurikulum berbasis kompetensi yang akhir-akhir ini kerap digembar gemborkan itu
mesti berpijak. Sebab, jika dijalankan secara ideal mengajarkan bersentuhan
langsung dengan realitas, bergumul dan diuji secara ilmiah.
Kurikulum macam ini menuntut pendekatan yang ditekankan
kepada peserta didik untuk lebih aktif dan terampil. Sedangkan guru berperan
sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator (ing ngarso sung tulada, ing
madya mangun karsa, tutwuri handayani). Sebaliknya, betapa sia-sia kurikulum
bertambun-tambun teori namun kerempeng dengan kebutuhan yang diperlukan oleh
peserta didik di tengah lingkungannya.
Kurikulum memainkan peran penting. Namun demikian
kurikulum bukanlah satu-satunya solusi untuk memecahkan proses pendidikan yang
telah jumud karena keterampilan dan kecerdasan seorang guru harus mendapatkan
perhatian pula. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan mesti benar-benar paham
dan mampu mentransformasikan maksud yang terkandung dalam idealism kurikulum
tersebut.
Hanya saja, karena segala hal tak bisa lepas
sebab-akibat, guru yang demikian akan ada jika ilmu dan kebutuhan hidup sang
guru tersebut sudah mumpuni. Kita tentu berharap tak ada lagi ironi dalam dunia
pendidikan : satu sisi peserta didik mesti mendapatkan pendidikan berkualitas dan
optimal. Namun, di lain sisi nasib guru tersengsarakan.
Artikel ini diambil dari Radar Banten, edisi 27 Nop.
2012.
Penulis : Badui U. Subhan
Pengajar di salah satu sekolah swasta
di Depok Jawa Barat.
Jika ada pihak yang keberatan denga artikel ini, silahkan
hubungi saya
di Contact me
Saya memposting semata-mata karena
sangat tertarik dengan pandangan
dalam artikel ini.
makasihh infonya
BalasHapusayo ikutin kompotisi cerdas cermat online se-JATIM seri2 hadiahnya banyak dan pendaftaranya geratiss gann ayoo buruan daftar
Terima kasih infonya. Langsung tengok TKP dech !
Hapusterus psting info2 yg bermanfaatnya gan
BalasHapussenang bisa berkunjung ke blog anda
terimakasih banyak