Revolusi Mental Itu Sudah Dimulai . Istilah revolusi mental yang dibesutkan oleh capres nomor urut 2 kemarin, Joko Widodo, sebenarnya belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian rakyat Indonesia terutama pada tataran arus bawah. Saya sendiri belum membaca isi artikel Jokowi yang berjudul “Revolusi Mental” yang pernah dimuat di media kompas yang menimbulkan polemik itu. Wajar rakyat tidak serta merta mengerti maksud si penggagas, karena ide atau program tersebut termasuk program cerdas, yang membutuhkan kecerdasan. Berbeda dengan apabila capres mengatakan bahwa ia akan menggratiskan biaya pendidikan dari SD sampai SMA. Tanpa makan bangku sekolah pun orang akan langsung mengerti.
Mengapa harus ada revolusi mental? Memangnya mental yang dimiliki bangsa Indonesia itu sekarang ini mental apa? Mental korup, nepotisme, mental kerupuk, mental tempe, mental santai, mental pesimis, atau mental apa? Ataukah malah sudah terjadi pemborongan kepemilikan semua mental-mental kerdil itu semua? Wah, kalau ya, semua orang akan mengatakan ini berbahaya. Ya, berbahaya. Mental Korupsi, Kolusi dan Nepotisme misalnya, apabila tidak diberantas, maka lama-lama akan merubah karakter bangsa pada sisi lain, misalnya menjadikan anak bangsa bermental pesimis dan lemah untuk berjuang karena kehilangan motivasi. Satu contoh nyata, adik saya sendiri. Dia lulus dari SMA bergengsi di Banten yaitu SMA Negeri 1 Serang (SMANSA). Setelah lulus dia nganggur 1 tahun karena orang tua sudah tidak mampu membiayainya untuk melanjutkan kuliah. Dengan dorongan kami bersaudara, dia akhirnya masuk kuliah di perguruan tinggi swasta di Serang. Adik saya sebenarnya dalam memilih belajar/kuliah sedikit idealis, dia inginnya di perguruan tinggi negeri yang ternama. Namun karena pertimbangan segala hal keterbatasan, terpaksa dia mau kuliah di perguruan tinggi yang berimej yang penting cepat lulus dan dapat Ijazah. Mengapa demikian? Karena dia sadar, sering menyaksikan bahwa siapa pun dan ijazah apa pun apabila punya duit untuk nyogok, maka jadilah ia seorang pegawai negeri (PNS). Satu tuh, karakter berubah. Karakter untuk menjadi anak bangsa yang cerdas dan potensial, berubah menjadi karakter abal-abal. Tapi itu adalah konsekwensi logis dari yang dipraktekan oleh pemerintah, terutama di Banten.
Adik saya kuliah sambil honor di instansi pemerintah dengan gaji cukup untuk beli bensin sebulan. Dia kuliah karena ada harapan dapat diangkat menjadi PNS. S1 adalah syarat bisa melamar menjadi PNS saat ini. Namun fenomena selalu menunjukkan yang beruang yang menang. Bagi adik saya menurutnya tidak akan mungkin dapat menembus PNS kalau harus dengan cara sogokan duit ratusan juta. Kuliah saja sering nunggak, karena tergantung kami. Sementara dia tetap menikah walaupun harapan masa depan masih tak menentu. Menjadi honorer cukup lama, punya S1 pun belum tentu sukses karena KKN tadi. Lalu apa lagi yang terjadi? Dia berhenti kuliah seakan prustrasi, karena menganggap Ijazah akan percuma kalau tidak punya uang, sementara usia terus bertambah. Usia adalah salah satu syarat dalam melamar pekerjaan. Dua tuh, karakter anak bangsa berubah. Dalam satu perjuangan, 2 karakter berubah sekaligus. Dia sering mengatakan, zaman sekarang orang punya ijazah S1 didapat dari bawah pohon pisang pun bisa jadi PNS asal ada duit. Maka dalam kegalauannya, kami pun tak kuasa menahannya untuk tidak berhenti kuliah, karena memang dia berada di persimpangan jalan. Dengan modal ijazah SMA dan keahlian komputer, kini dia menjadi karyawan di sebuah perusahaan finance sebagai kolektor (ARO).
Secuil contoh di atas, tidak mustahil kalau hal itu sudah menjangkiti jiwa jutaan anak bangsa. Bahkan penulis sering mendengar celotehan masyarakat di kampung, mereka menyekolahkan anak yang penting dapat ijazah agar bisa melamar ke pabrik. Banyak juga yang hanya tamat SMP, selanjutnya memilih paket C. Lantas kapan bangsa ini akan melesat maju, kalau prinsip masyarakatnya “yang penting dapat ijazah”? Kenyataannya adalah, pelajar-pelajar zaman sekarang sudah sangat minim daya juangnya dalam meraih prestasi di bangku sekolah. Sudah tidak ada lagi di kampung-kampung ada pelajar jadi kutu buku. Mereka yang penting pergi sekolah, pulang sekolah lempar tas dan lalu main. Malamnya begadang dengan teman setetangga sambil nongkrong di pinggir jalan atau tempat-tempat tertentu, lalu berangkat bareng sembari menggereng-gereng motor yang knalpotnya sebagian ada yang resing. Itulah trend dan lyfe style mereka. Penulis sangat tidak percaya kalau gaya pelajar seperti ini memiliki potensi yang diharapkan secara akademik. Penulis sudah sering membuktikan. Belum pernah ada yang mampu menjawab setiap kali penulis menanyakan kepada mereka (keponakan dan teman-temannya, atau di luaran) tentang teori Darwin, teori Nebula, nama lambang unsur kimia, asal-usul rumus segitiga, dll, sampai perkalian pun kelas 3 SMP kebanyakan tidak hafal. Materi yang berkaiatan dengan pelajaran di sekolah nampaknya tetap asing bagi mereka. Motivasi sudah tercabut dari mereka. Makanya, penulis termasuk orang yang sangat setuju dengan tagline capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kala pada pilpres 9 Juli yang lalu, yaitu “Revolusi Mental”. Walaupun penulis tidak begitu mengerti akan dari mana dimulainya revolusi itu.
Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK sudah ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang pada pilpres 9 Juli 2014. Rakyat akan segera menagih janji mereka ketika kampanye, termasuk implementasi revolusi mental tersebut. Secara otomatis, adanya revolusi mental berarti akan terjadi pula perubahan karakter bangsa yang lebih baik. Lantas kapan dimulainya revolusi mental tersebut?
Perjalanan Karir Jokowi |
Ketika Jokowi keluar sebagai pemenang pilpres yang akan menjadi presiden RI 2014-2019, sesungguhnya revolusi mental dan nuansa perubahan karakter itu sudah dimulai. Dengan terpilihnya Jokowi, seluruh rakyat Indonesia layak bermimpi menjadi presiden. Dan itu pernah dikatakan oleh Jokowi sebagaimana dilaansir di berbagai media online. Semua orang bisa bermimpi jadi presiden. Mengapa tidak, karena Jokowi berasal dari keluarga kalangan biasa, ekonomi orang tuanya pun tidak terlalu kaya. Perjalanan panjang Jokowilah yang menghantarkannya menjadi orang nomor 1 di negeri ini. Kesungguhan, kejujuran, dan bekerja untuk rakyat selama ini telah membuatnya dipercaya oleh 53 persen rakyat Indonesia yang memilih. Yang tua boleh pesimis karena sudah kehilangan kesempatan bermimpi, tapi bagi ratusan juta anak bangsa yang masih muda adalah jalan masih panjang untuk meneladani sosok Jokowi. Sehingga guru di sekolah-sekolah pun kini mempunyai bahan untuk memotivasi siswanya dalam merubah karakter pesimis menjadi pejuang tangguh menatap masa depan tanpa memandang si kaya atau si miskin, karena prestasilah yang menjadi jaminan bukan uang.
Demikian, semoga.
Salam Kenal. Saya Agsumita (Cara Menulis Buku Metode2JT). Saya ada info menarik. Saya sedang adakan lomba menulis artikel di blog. Hadiahnya lumayan menarik. Coba cek di: www.LombaMenulis-Blog.com
BalasHapusSiap ke TKP Mba, maksih infonya (agak terlambat buka blog nih, sibuk)
Hapus"Hi!..
BalasHapusGreetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism