Hukum Menggugurkan Kandungan . Materi postingan kali ini terinspirasi oleh peristiwa yang baru saja menimpa saudara sepupuku. Ia sedang mengandung 7 bulan terkena kanker payudara ganas. Ia dirawat di Rumah Sakit Darmais Jakarta. Ada dilema yang bagi sang ibu dan suaminya tak mampu mengatakan “ya” atau “tidak” ketika dokter memberikan 2 opsi, yakni pilih anak atau pilih ibunya. Saya sempat nimbrung bicara agar pilih ibunya, karena keputusan itu mau tak mau harus dipastikan secepatnya diambil untuk tindakan operasi atau kemoterapi. Alhasil, anak dikeluarkan dalam keadaan sempurna namun dalam keadaan tak bernyawa, namanya Darma Setia Bunda. Tinggal ibunya yang harus dikemo. 2 hari kemudian dia juga tak tertolong (meninggal). Semoga mereka damai di sana, Mari ikuti ulasan hukum menggugurkan kandungan ini sebagai berikut.
Yang dimaksud dengan menggugurkan kandungan dalam pembahasan ini adalah : menggugurkan secara paksa janin yang belum sempurna penciptaannya atas permintaan atau kerelaan ibu yang mengandungnya. Adapun dasar dari pembahasan ini adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, bahwasanya Rasulullah bersabda : ”Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari. Setelah genap 40 hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Ketika genap 40 hari ketiga berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh, serta memerintahkan untuk menulis 4 perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia.” HR. Bukhari & Muslim.
Ilustrasi aborsi (gbr.www.zonaunik.com) |
Untuk memudahkan pemahaman, sebaiknya kita bagi pembahasan ini dalam beberapa bagian sebagai berikut :
Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Ruh
Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat :
Pendapat Pertama :
Menggugurkan janin sebelum peniupan ruh hukumnya boleh. Bahkan sebagian dari ulama membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat. (Hasyiat Al Qalyubi : 3/159) pendapat ini dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Tetapi kebolehan itu disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya, (Syareh Fathul Qadir : 2/495) adapun dalilnya adalah hadits Ibnu Mas’ud diatas yang menunjukan bahwa sebelum sebelum 4 bulan, ruh belum ditiup ke janin dan penciptaan belum sempurna, janin dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan.
Pendapat Kedua :
Menggugurkan janin sebelum peniupan ruh hukumnya makruh. Dan jika sampai pada waktu peniupan ruh, maka hukumnya menjadi haram. Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, maka tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh, demi untuk kehati-hatian. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi, dan Imam Romli salah seorang ulama dari madzhab Syafi’i (Hasyiyah Ibnu Abidin : 6/591, Nihayatul Muhtaj : 7/416).
Pendapat Ketiga :
Menggugurkan janin sebelum peniupan ruh hukumnya haram. Dalilnya bahwa air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah tindakan kejahatan. Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir, Imam Al Ghazali dan Ibnul Jauzi (Syareh Kabir : 2/267, Ihya Ulumuddin : 2/53, Inshof : 1/386).
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup ruhnya (4 bulan), telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun dishalati. Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak dikategorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang bermanfaat.
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah peniupan ruh hukumnya haram. Peniupan ruh terjadi ketika janin sudah berumur 4 bulan dalam perut ibu. Ketentuan ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud diatas. Janin yang sudah ditiupkan ruh dalam dirinya dia telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum ini berlaku jika pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat.
Namun jika disana terdapat sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan membahayakan sang ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pandapat :
Pendapat Pertama :
Pendapat Pertama :
Menggugurkan janin setelah peniupan ruh hukumnya tetap haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh para ulama. Allah berfirman : ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, melainkan dengan suatu alasan yang benar.” (QS. Al-Isra’).
Kelompok ini juga mengatakan bahwa kematian ibu masih diragukan, maka tidak boleh membunuh janin yang sudah ditiup ruhnya, hanya suatu yang meragukan (Hasyiyah Ibnul Abidin : 1/602). Mereka juga memberikan pemisalan bahwa jika sebuah perahu akan tenggelam, sedangkan keselamatan semua perahu tersebut bisa terjadi jika sebagian penumpang dilemparkan ke laut, maka hal ini juga tidak dibolehkan.
Pendapat Kedua :
Diperbolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan ruh kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu dari kematian, karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan daripada menjaga kehidupan janin. Karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya terakhir (Mausu’ah Fiqhiyah : 2/57). Prediksi keselamatan ibu dan janin dikembalikan kepada ilmu kedokteran, walaupun hal itu tidak mutlak benarnya. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !