Rabu, 23 April 2014

Pejuang-Pejuang di KPPS Pemilu 2014

Pejuang-Pejuang di KPPS Pemilu 2014. Ide untuk menulis tentang bagaimana perjuangan Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) ini sudah muncul sejak saya menyaksikan bahkan ikut membantu salah satu TPS yang bekerja hingga jam 03.00 (subuh). Ketika TPS-TPS yang lain sejak jam 23.00 sudah sukses melaporkan segalanya ke PPS (Panitia Pemungutan Suara) tingkat Desa, TPS yang satu ini malah terpaksa harus molor hingga jam 03.00 lantaran adanya kekeliruan menghitung surat suara. Dari surat suara DPRD kabupaten sampai DPR RI semuanya dihitung ulang hingga tuntas. Tulisan ini lantas baru sempat diupdate sekarang, karena sudah 2 minggu lebih setelah Pemilu, komputerku rusak.
Bekerja hingga larut malam bahkan sampai pagi, yang dilakukan oleh TPS tadi adalah akibat dari adanya keteledoran mereka. Jadi itu adalah kesalahan mereka sendiri. Terpaksa mereka harus bekerja dua kali lipat waktu dengan kondisi fisik yang lesu, gerah, pikiran mumet dan mengantuk. Insentif mereka hanya 300.000. Seandainya diibaratkan bisnis borongan, maka mereka itu dikatakan merugi alias tetombok. Bagi TPS yang kelar setelah waktu magrib, dengan honor 300.000 rupiah itu terbilang lumayanlah. Lalu apakah hanya petugas KPPS saja yang dianggap rugi kalau bekerja sampai subuh? Ternyata yang merasa rugi terlebih-lebih para saksi partai atau caleg. Sebab mereka juga harus ikut begadang mengawasi jalannya proses di TPS hingga pembuatan Berita Acara selesai. Padahal, mereka hanya menerima honor sebesar 100.000 rupiah, itu pun ada yang honornya masih digantung dan akan dibayar lunas apabila sudah laporan. Banyak para saksi yang mengaku menyesal jadi saksi. Salah seorang saksi dari PKS, Ririn mengaku lebih baik dagang daripada jadi saksi. Ririn, biasa berdagang di tempat-tempat keramaian mengakui biasa mendapat keuntungan sekitar 200.000 sampai sore. 

Ketua KPPS membuka dan menghitung Surat Suara bersama anggota
Baik Ketua KPPS, anggota KPPS, Linmas maupun para saksi, toh tidak ada yang lepas dari tanggung jawab. Mereka konsisten dan komitmen untuk bekerja sampai kelar dan benar. Mereka tetap nampak semangat walaupun matanya sudah sayu bagai lampu 5 watt. Mereka, baik TPS yang selesai sampai jam 23 malam maupun pagi, pada prinsipnya bekerja demi suksesnya mendokumentasikan aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui surat suara untuk kemudian dilaporkan kepada PPS. 
Bekerja kolektif kolegial, Linmas pun ikut membantu demi cepatnya proses kerja. Di depan kertas Plano Bapak Jaenudin sudah menahan kantuk matanya bagai lampu 5 watt
Menjadi petugas KPPS dan mensukseskannya dengan penuh tanggung jawab, bisa disebut pejuang penegak NKRI. Mengapa tidak? Karena mereka menjadi ujung tombak terbentuknya lembaga Negara hingga rangkaian pilpres. Terbentuknya lembaga Negara dan Presiden, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap tegak sesuai kehendak rakyat. Ketika mereka (Petugas KPPS) bekerja, serumit apa pun dan hingga larut malam, tidak ada dari mereka yang berpikir materialistis. Rupanya mereka hanya berpikir bagaimana agar TPS-nya termasuk TPS yang gemilang tanpa salah di sana-sini. Mereka tidak ada yang membanding-bandingkan penghasilan honor dengan para anggota Dewan yang kelak akan duduk enak di kursi dewan perwakilan rakyat. Mungkin kalau mereka berpikir materialistis, maka mereka tidak akan mau menjadi KPPS yang hanya dihonori Rp300.000 dibandingkan dengan anggota dewan yang rapat setengah hari saja uang rapatnya jutaan. Tidak mungkin anggota dewan yang kompeten dengan anggota yang hanya bisa duduk ikut-ikutan, mendapat insentif sebesar Rp500.000 bahkan hanya Rp300.000 sama dengan KPPS. Tidak mungkin bagi DPRD dan DPR bekerja hingga larut malam honornya Rp300.000, walaupun kerjanya sebagian hanya duduk ikut menyetujui apa yang dibahas bahkan tidur. 
Bapak Barno khusus menangani berbagai form Berita Acara di TPS 6
Petugas KPPS juga tidak berpikir negative, mereka tidak berpikir bahwa apa yang sedang di-planokan di TPS adalah angka-angka yang merujuk pada sosok wakil rakyat yang suatu saat akan menjadi penghianat rakyat. 
Sebanyak 6 orang saksi masih setia menyaksikan jalannya penghitungan suara walaupun sudah larut malam. Kang Ririn memakai peci saksi dari PKS
Mereka yang menjadi KPPS adalah rakyat kecil yang rata-rata pendidikannya minimal SLA. Dengan honor Rp300.000 itu mereka tidak akan berkoar macam-macam walaupun terkadang tidak sesuai dengan darmanya untuk Negara. Salam damai, Merdeka !!
Semoga bermanfaat.

4 komentar:

  1. memang saya merasakan sendiri terjun di kpps,kalau di nilai honor itu tak sesuai

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi Alhamdulillah kita sdh terbiasa bersyukur, menikmati dan menerima tugas dan reward kecil maupun besar tanpa reserve. Heheh....

      Hapus
  2. Saya sendiri yg jadi ketua kpps. .Meskipun saat pileg 9 april lalu kami slesai laporan ke pps sbelum pkul 8 mlm. Tapi sungguh beban kpps itu berat. Bahkan ketua kpps sebelah ada yg kena kurungan 2 bulan hanya krna pemilih yg dtg pakai KTP. . .sungguh miris, namun itulah kami demi damai dn utuhnya NKRI

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget Mas, KPPS adalah ujung tombak. Lho kok, bisa dikurung 2 bln? Kan boleh pemilih bwa KTP apabila tdk punya surat panggilan tapi ada dlm DPT. Atau tak ada dlm DPT tapi benar2 jelas warga setempat diakui oleh RT.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !