Sabtu, 22 Februari 2014

Quo Vadis PGRI Propinsi Banten Periode 2014-2019?

Quo Vadis PGRI Propinsi Banten Periode 2014-2019? Memilih Ketua PGRI Propinsi di Banten tak boleh sekedar berdasarkan popularitas, kedekatan emosional, kedekatan struktural dan chemistry dengan para guru dan pengurus. Para pengurus calon konstituen harus cerdas melihat rekam jejak (track record) kandidatnya jika ingin PGRI keluar dari aroma kooptasi penguasa dan permasalahan pendidikan yang terpolitisasi lebih masif. Jabatan dan ketokohan seseorang yang menjadi landasan elektabilitas harus bisa diukur dari rekam jejak selama ini. Para guru jangan terjebak pada visi kandidat yang mengatasnamakan kepentingan guru dan organisasi. Sebab bagi penganut kolonialisme, berbicara manis berisi dusta itu bukan hal yang ditabukan. Jika ada pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan atau dinas-dinas lain yang melamar untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Ketua PGRI, maka para calon konstituen harus jeli menakar kadar kepentingan dan misi pribadi si calon. PGRI harus menolak kandidat yang memiliki track record pendukung status quo yang kini sedang terundung rasuah. Sebab tidak mustahil PGRI di Banten di kemudian hari dilegalitaskan sebagai salah satu alat pendukung kekuasaan yang sewaktu-waktu dikoyak para pencari kebenaran (LSM, rival dan sebagainya).
Foto dokumen pribadi


Tentunya kehati-hatian yang terlintas di atas cukup beralasan. Ini bukan omongan lebay tanpa dasar. Kaum intelek warga Banten semua tahu, bahwa hampir semua pejabat di Banten adalah produk proses nepotisme. Proses ini dalam evolusinya mengakibatkan kuatnya rantai dan jaring-jaring kekuasaan yang saling menopang. Karena mereka yang masuk ke system mau tak mau harus siap menjadi bagian dari proses politik demi langgengnya kekuasaan. Sedangkan PGRI, harus sadar akan jati dirinya yang independen, unitaristik, dan non partai. PGRI tidak berafiliasi dan beraliansi dengan kendaraan politik mana pun.  PGRI tidak boleh dijadikan alat penekan oleh penguasa kepada pihak pencari kebenaran yang mengkritisi ketua dalam kapasitasnya sebagai jajaran pemerintahan. Pun PGRI tidak boleh dijadikan tangan-tangan penguasa melalui pengurusnya. Justru PGRI adalah penekan (pressure) pemerintah dalam mengawal kebijakan yang tidak pro tuntutan PGRI. PGRI jangan mau dicombo dengan fasilitas lengkap dan mewah dari penguasa kalau harus kehilangan jati diri dan independensinya yang mengakibatkan ompongnya gigi PGRI.
Tulisan ini dibuat terdorong oleh adanya desas-desus bahwa salah satu pejabat instansi di Kota Serang akan melamar menjadi calon Ketua PGRI propinsi Banten periode masa bakti 2014-2019. Dan desas-desus itu ternyata telah terbukti kebenarannya karena saya sendiri sudah menghadiri undangannya untuk mengikuti audiensi calon pelamar bersama sejumlah pengurus kota dan 18 pengurus cabang se-kota Serang. Pelamar adalah seorang Kepala Dinas. Bagi kami, siapa pun yang akan menjadi ketua PGRI Propinsi Banten tidak masalah, yang penting dia mampu menjalankan fungsi-fungsi organisasi secara demokrasi dan independen. Jangan ada orang yang berambisi menjadi pengurus PGRI semata-mata karena untuk kepentingan pribadi atau kelompok, apalagi PGRI hendak dijadikan alat menopang kekuasaan. Dan, siapa pun yang berkeinginan maju menjadi calon ketua, sepanjang itu tidak bertentangan dengan AD/ART PGRI, its Ok, karena itu adalah hak. Namun sekali lagi calon konstituenlah yang harus mampu menilai siapa yang lebih integritif terhadap kepentingan organisasi. Sebab mereka yang akan memilih harus sadar bahwa dirinya merupakan refresentatif dari seluruh anggota yang diwakilinya.
Oleh karena itu, mengingat hasil audiensi yang sudah digelar pada awal bulan ini di sebuah SMK di Kota Serang, saya sangat khawatir. Kekhawatiran saya memang berdasar pada penilaian subjektif saya sendiri. Namun Subjektivitas saya menurut saya rasanya bukan subjektivitas buta. Artinya, bukan tanpa alasan yang jelas. Saya menilai dengan catatan rekam jejak yang bersangkutan, yang menyimpulkan bahwa yang bersangutan masih diragukan dalam hal akuntabilitas, kredibelitas, integritas dan independensinya. Beliau belum pernah menjadi pengurus di tingkat mana pun, sehingga belum ada standar penilaian yang dapat digunakan secara valid bagi kami (belum teruji). Sedangkan rekam sejak lain yang berdasar pada jabatannya kini, justru belum mampu memuaskan semua pihak. Sehingga walaupun ia orang yang berkutat di ranah guru dan pendidikan, namun sebenarnya tidak ada nuansa chemistry yang terbentuk dalam arti yang hakiki. Kedekatan emosional pun masih sangat diragukan melekat pada benak para guru. Yang ada mungkin hanya sekedar menghargai di depan yang bersangkutan, namun di belakang bersuara bising berirama sama.
Betulkah berirama sama? Berirama sama, itu memiliki makna bebas tak dipengaruhi makna sintaksis. Namun kata bising merujuk bukan pada elektabilitas seseorang. Nah, justru inilah yang menjadi pertanyaan saya setelah terselenggaranya audiensi tersebut. Dari 6 orang perwakilan tiap PGRI Cabang, bersuara sama mendukung sepenuhnya dengan beberapa alasan dan rasionalisasi yang masuk akal. Apakah betul apa yang mereka sampaikan itu keluar dari hati nurani atau hanya cari selamat? Mungkinkah mereka cari selamat dengan niat hati kecil menjerumuskan seseorang (balon)? Saya berharap begitu, sebab alangkah tulinya mereka apabila suara dukungan itu benar-benar suara hati nurani masing-masing. Betapa butanya mata mereka memandang permasalahan yang terjadi selama ini. Bukti mana yang hendak mereka ajukan bahwa yang bersangkutan punya track record baik terhadap guru? Pernahkan mereka bertanya kepada semua Kepala SMA di Kota Serang, tentang siapa dia? Dia tidak lebih dari seorang pejabat yang tidak mengerti kata tegas. Tegas yang tidak konstruktif adalah cenderung mendzolimi. Maka apabila ada guru yang menjadi korban kekuasaan yang sewenang-wenang dari dinas pendidikan, sudikah kemudian kita menyebutnya pro guru? Yang ada seharusnya malah menjegalnya membuang jauh-jauh dari kehidupan guru dan dunia pendidikan dan bukan malah jadi orang nomor satu di rumah guru. Anda bisa baca tentang Curhat Mantan KepalaSMPN 25 Kota Serang di blog ini. Tanpa menunjuk siapa orangnya, artikel tersebut cukup memberikan referensi kepada kita. Dari situ selayaknya semua orang harus satu visi satu persepsi dalam memandang jejak tindak-tanduk si calon pemimpin organisasi guru.
Sebagai autokritik, kembali saya ungkapkan bahwa kepengurusan PGRI Propinsi Banten belum maksimal menjalankan fungsi-fungsi organisasi selama ini. Belum ada inovasi-inovasi yang membanggakan dari sisi pengembangan profesionalisme guru. Yang banyak berkiprah masih sebatas sekretaris pada tupoksinya yang terbatas. Secara pribadi, saya menginginkan ketua PGRI provinsi Banten diambil dari kalangan akademisi kampus sekelas Dahnil Anzhar, misalnya. Saya juga mengharapkan adanya pembaharuan dan peningkatan konten-konten bermutu dari Majalah PGRI Propinsi Banten, di bidang pendidikan. Saya ingin melihat PGRI propinsi Banten sama dengan PGRI Propinsi Jawa Barat ketika dipimpin Muhamad Surya. Kalau pun ketuanya masih dari kalangan nonakademisi, saya berharap besar PGRI Propinsi Banten dapat bekerja sama dengan para penulis pendidikan dari kalangan kampus untuk meningkatkan mutu layanan majalah suara guru Banten.
Akhir kata, semoga PGRI semakin bergairah dalam mendedikasikan dirinya sebagai wadah perjuangan guru dan dunia pendidikan. Dan, keterlibatan aktif anggota dalam berpartisipasi, bukan hanya berarti keterlibatan menjadi anggota saja. Akan tetapi partisipasi yang lebih dari itu, yaitu semakin masuk pada keterlibatan mental, pikiran, dan emosi dalam situasi kelompok yang mendorong memberikan sumbangan kepada organisasi dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap upaya yang diperjuangkan.
Semoga.

2 komentar:

  1. Saya yakin semua aktivis yang berkiprah di bidang pendidikan, terutama guru yang masih memiliki sisa-sisa idealisme, akan berpikiran sama dengan apa yang diungkap dalam artikel ini. Akan tetapi manusia memiliki sifat "owah gingsir" (mudah merubah) karena berbagai faktor kepentingan. Andai kita masih berjiwa idealisme, tentunya wajib menyampaikan dan mengingatkan bahwa yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Walaupun kita tahu bahwa menyampaikan yang benar itu berat. Tapi ... kalau boleh saya sarankan, usahakan sampaikan dengan bahasa yang konotatif, tapi bermakna tajam. Saya yakin para pembaca mampu menggali maksud yang terkandung dalam tulisan kita.
    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ~ Masukan yang produktif. Faktor kepentingan bisa gingsirnya seseorang, karena kepentingan itu sendiri diciptakan. Maka keluar dari kategori orang idealis dan cenderung patut dikatakan sebaliknya adalah hipokrit, heheh
      ~ Saran yang baik sekali, walaupun hal itu tergantung tendensius si penulis. Terpaksa saya harus belajar bahasa konotasi. Terima kasih banyak

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !