Pentingnya Motivasi dan Reinforcemen Bagi Siswa . Apa jadinya hidup seseorang kalau tanpa motivasi dalam dirinya. Saya yakin semua orang mempunyai motivasi sehingga berlangsungnya kehidupan ini. Fungsi motivasi salah satunya adalah untuk mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Reinforcemen, adalah salah satu sumber motivasi pada diri siswa (seseorang). Kekuatan reinforcemen dan motivasi ini mungkin akan jauh lebih dahsyat efeknya ketimbang bom atom Hiroshima. Ada bukti yang mungkin ini terdengar seperti menyombongkan diri, karena ini menyangkut pengalaman diri-sendiri. Dan, secara pribadi pula, pengalaman yang telah membentuk saya itu, saya lakukan untuk murid-murid saya kini. Pengalaman berikut ini adalah bukti bahwa motivasi yang dihadirkan lewat reinforcemen dari guru, sungguh luar biasa dalam membentuk sikap siswa.
Tahun 1978, saya masuk SD. Sebelum masuk SD (pra sekolah) entah bagaimana caranya orang tua saya waktu itu, nyatanya saya sudah bisa membaca namun belum bisa menulis. Di hari pertama masuk kelas 1 SD, guru kelas 1 mengajarkan menulis pagar berbaris-baris dan bebangkol (guru mengatakan seperti itu, yang sebenarnya adalah angka 1 dan 2). Di akhir pelajaran, setelah guru melakukan penilaian (puntun istilah waktu itu), guru mengatakan: “Anak-anak, nanti kalau kalian sudah pandai menulis pagar dan bangkolan, kalian akan belajar menulis seperti ini” guru sambil menuliskan di papan tulis dengan huruf berukuran besar “ini budi”. Ketika guru bertanya siapa yang bisa membaca kata itu, saya jawab saya bisa, yaitu ini budi. Guru bengong, sejenak. Kemudian langsung mendekati saya. Pak Sukma (almarhum) waktu itu memuji saya habis-habisan sambil ngelus-elus punggung saya. Beliau mengatakan bahwa saya pinter sekali. “Kamu pandai sekali, belum belajar baca tapi sudah bisa baca. Bapak baru kali ini seumur jadi guru menemukan murid seperti kamu”. Setelah bertanya tentang nama saya dan alamat rumah serta nama orang tua saya, Pak Sukma lalu kembali ke depan kelas. Di situ beliau berbicara tentang saya lagi sebagai motivasi kepada siswa yang lain.
Pujian dan sentuhan Pak Sukma saat itu, sungguh terasa luar biasa buat saya sebagai siswa kelas 1. Dari situ saya lebih rajin membaca. Bahkan saya lebih sering membaca buku-buku pelajaran kelas tinggi ketimbang buku pelajaran kelas 1. Di mana saja, setiap dilihat ada serpihan Koran bekas bungkus ikan atau terasi dari warung, tak luput dari perhatian saya untuk dibaca. Singkat cerita, dari kelas 1 sampai kelas 6 saya selalu rangking 1. Sepanjang itu memang terjadi gejolak pada diri saya “antara prestasi dan prestise”. Apalagi jaman dulu, ada image KM harus pinter. Saya di SD seumur-umur jadi KM terus.
Tes masuk kelas 1 SMP, dilewati dengan tes seleksi. Entah terasa mudah atau sukar soal-soal tes saat itu, saya lupa. Yang jelas, ketika mengambil pengumuman, tertulis skor nilai hasil tes tersebut di dalam kertas pengumuman itu, dan Panitia mengatakan pada saya bahwa nilai tes saya adalah tertinggi dari seluruh peserta tes. “Kamu bergizi, nilai tesnya tertinggi” begitu kata Panitia waktu itu.
Kata bergizi dan tertinggi terngiang-ngiang terus di telinga saya waktu itu. Di rumah, saya ceritakan hal tersebut kepada kedua orang tua saya. Bapak merespon biasa-biasa saja, namun Ibu mengucapkan ‘alhamdulillah’.
Singkat cerita, duduklah saya di kelas I.C SMP Negeri 1 Petir. Semua pelajaran terasa mudah diikuti kecuali Kesenian dan Olah Raga. Saya kurang seneng kesenian dan olah raga karena tidak bisa menyanyi dan olah raga permainan. Pelajaran bahasa Inggris terasa paling mudah waktu itu. Paling mudah kedua adalah PMP. PMP yang soal-soalnya memberikan option yang normatif semua itu termasuk pelajaraan yang mudah bagi semua siswa umumnya. Namun ternyata tidak mudah bagi siwa umumnya apabila soal PMP yang normative berbasis hafalan P4 (butir-butir P4, Eka Prasetya Panca Karsa). Pak Dase Rusyana, guru PMP mengatakan: “Minggu depan kita ulangan, soalnya pilihan ganda 40 soal, soalnya butir-butir P4 semua.” Belum lama berlangsung ulangan, guru menagih untuk mengumpulkan hasil jawaban bagi yang sudah. Belum ada yang selesai kecuali saya dan langsung mengumpulkannya. Tanpa melihat kunci jawaban, sepertinya Pak Dase sudah hafal betul kunci jawabannya, maklum beliau mungkin sudah berkali-kali menggunakan soal itu di SMP Cikeusal pagi hari, SMP Swasta di sore hari, dan terakhir di sini sore hari juga. Selesai mengoreksi lembar jawaban saya, beliau menunjukan lembar jawaban itu ke semua siswa sambil berujar : “Kalau sudah cepat kumpulkan dan nilai harus seperti ini semua”. Nampak jelas nilai saya itu ditulis menggunakan spidol berwarna merah dengan besar, yaitu nilai 10.
Selesai ulangan PMP istirahat. Saya mau keluar menuju warung jajanan melewati ruang guru. Tanpa sadar saya mendengar nama saya disebut seseorang dari dalam ruang guru. Sepontan saya terhenti untuk nguping kelanjutannya. Rupanya Pak Dase sedang menggibah positif tentang saya. “Baru kali ini selama ngajar di SMP, ada siswa ualngan P4 betul semua. Sedangkan soalnya banyak 40 soal”.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya waktu itu. Lagi-lagi mendapat pujian persis seperti ketika di SD. Meledak-ledaklah semangat saya untuk terus berpacu meraih prestasi. Tiada hari tanpa belajar, terutama rajin membaca tentang pelajaran PMP, seolah ingin mengulangi hal yang sama tadi. Tanpa disadari oleh guru, ucapannya didengar oleh siswanya yang tentunya ini lebih ikhlas tanpa kepura-puraan. Dari situ nilai PMP sepanjang kelas 1 tidak pernah mendapat nilai 7, selalu 8 ke atas. Nilai Raport semester 1 dan 2 = 9.
Berbeda dengan sikap guru bahasa Inggris yang killer itu, Pak Hilman. Saya selalu mendapat nilai kalau tidak 10 ya 9. Tapi beliau tidak pernah memuji saya. Tapi ada yang membuat saya merasa bangga dengan cara Pak Hilam, yaitu saya tidak pernah diperiksa atau dikontrol PR-nya. Pak Hilman paling telaten memberikan PR setiap kali selesai mengajar. Dan setiap tatap muka berikutnya satu per satu PR siswa dikontrol apakah mengerjakan PR atau tidak, sebelum PR tesebut dibahas bersama-sama.
Alhasil, bagi raport di kelas I – III diumumkan secara seremonial. Disebut bintang-bintang kelas I – III. Saya mendapat bintang kelas IC. Di luar dugaan, terakhir diumumkan juara umum, sayalah juaranya mengalahkan juara umum yang selama ini selalu diraih Rohmat yang kini kelas III. Dua kali naik panggung, dua kali menerima hadiah dan piagam. Selanjutnya, mendapat juara umum di kelas II sampai III bukan hal yang aneh lagi bagi saya.
Ketika sudah duduk di kelas II semester 1, Pak Agus Saparudin, guru IPA (Fisika dan Biologi) memanggil saya untuk datang ke ruangan guru. Waktu itu musim ulangan umum (THB). Sehabis THB semua guru menempel daftar nilai hasil ulangan di papan pengumuman. Saya girang bukan kepalang melihat nilai IPA saya 7,52. Bukan nilai 7,52 itu yang membuat saya bangga, karena itu saya rasa hasil yang kurang memuaskan. Tapi karena nilai segitu pun merupakan nilai tertinggi dari kelas 1 – 3. Rupanya gara-gara nilai itu Pak Agus Saparudin memanggil saya ke kantor. Pak Agus Saparudin guru yang suka ngejek siswa dengan kata ‘pegon’ ini mempersilakan duduk pada saya. “Joh, saya selama jadi guru di sini, belum pernah ada siswa saya mendapat nilai THB 6 apalagi 7, kamu dapat nilia 7,52. Saya bangga sama kamu, pertahankan prestasi kamu. Saya akan memberikan beasiswa untuk kamu selama 3 bulan, SPP kamu saya yang bayarin, ok !” Itulah kata-kata beliau yang tak diduga-duga oleh saya. Tiga kali sudah, saya mendapat pujian yang sama dari guru. Kali ini malah berlipat-lipat nilai kebanggaannya, pujian dan dorongannya dan bebas SPP. Kalau tidak salah saat itu bayarin SPP per bulan Rp1.750. Cukup besar untuk ukuran orang tua saya waktu itu apalagi membiayai 3 orang anak: saya, kakak saya di SMEA dan di SPG. Tentu saja ini makin menggelegarkan semangat saya. Alhamdulillah, nilai IPA saya selalu tinggi. Saya jadi kutu buku.
Di kelas III, pada THB semester I saya dipanggil guru IPS (sejarah) Pak Hidayat. “Joh, soal THB itu dibuat oleh kelompok guru IPS di kabupaten untuk THB sekabupaten Serang. Ini nilai kamu saya tulis sepuluh”. Lho, Pak, kok sepuluh? Menurut saya ada 1 soal yang jawabannya salah, jawab saya. “Ya, betul, tapi karena nilainya 9,99, maka Bapak bulatkan saja menjadi 10. Baru kali ini Joh selama jadi guru nilai THB siswa mendapat nilai 9. Kamu luar biasa.” Sekali lagi, kata-kata baru kali ini dan kamu luar biasa, membuat saya tersanjung. Ini menimbulkan semangat yang semakin membara untuk rajin belajar IPS.
Semangat belajar itu terus mengalir dari guru dalam berbagai bentuk. Suatu saat pada awal pelaksanaan bimbingan belajar (bimbel/LES) bagian IPA – Fisika, Pak Agus Saparudin guru IPA sudah siap masuk ke kelas. Waktu itu semua siswa sudah hadir untuk mengikuti les. Pak Agus Saparudin di mulut pintu masuk menyapa saya : “Mau apa Joh, kamu ke sekolah?” Les Pak ! jawab saya. “Ah, kamu, gak usah !” Kata-kata gak usah bagi saya waktu itu merupakan pujian langsung yang nyatanya dapat lebih memacu saya untuk lebih rajin belajar khususnya IPA. Saya merasa bahwa Pak Agus Saparudin, diam-diam membanggakan saya selama ini. Pak Agus Saparudin termasuk guru yang diam dan pelit memberikan pujian, bahkan seingat saya tidak pernah memberikan pujian di kelas. Lagi-lagi ini adalah reinforcemen dan motivasi bagi saya.
Akhir dari studi saya di SMP itu adalah meraih nilai NEM tertinggi sehingga saya mampu menembus SMA Negeri terpavorit di Banten yaitu masuk SMA Negeri 1 Serang dan lulus 1990. Saya termasuk pendobrak SMPN 1 Petir bisa masuk SMA pavorit saat itu. Menurut saya semua itu diraih bukan karena saya memiliki kecerdasan khusus, akan tetapi saya memiliki kelebihan dalam belajar karena teramat banyak motivasi yang saya terima dari guru. Buktinya, ketika saya terkumpul bersama anak-anak orang kaya yang cerdas-cerdas di kelas Ic SMAN 1 Serang, selanjutnya saya menjadi siswa yang memble. Ranking sepuluh besar pun tidak pernah masuk, walaupun pada waktu penjurusan saya mampu masuk kelas bergengsi yaitu kelas Fisik (A1) dengan syarat rata-rata nilai raport minimal 7.
Demikian reinforcemen begitu berartinya bagi kemajuan belajar siswa, sehingga sebaiknya guru jangan pelit memberikan pujian baik secara kata-kata maupun sentuhan secara fisik.
Ada dua hal penting yang dapat saya simpulkan dari sekilas uraian di atas adalah sebagai berikut.
- Reinforcemen tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas ketika berlangsungnya KBM.
- Kontribusi reinforcemen dan motivasi sangat besar terhadap kemajuan belajar seseorang.
Sangat bermanfaat .... terima kasih pak...☺
BalasHapusTerima kasih Bu, sama-sama
HapusTulisan itu saya berharap suatu saat terbaca oleh :
Bapak Agus Saparudin
Bapak Dading Sukmayadi
Bapak Dase Rusyana
Bapak Hilman
Bapak Hidayat / Dayat
Kepada mereka inilah tulisan itu saya persembahkan