Kamis, 30 Mei 2013

IMB-INDONESIA MENCARI BAKAT

Oleh : Dhimam Abror Djuraid
Barack Obama
IMB-Indonesia Mencari Bakat
.
Di setiap malam minggu kita bisa menyaksikan acara ‘’Indonesia Mencari Bakat’’ (IMB) di sebuah televisi swasta. Berbagai macam orang dengan berbagai kemampuan dan keterampilan –mulai yang biasa-biasa saja sampai yang lumayan– beradu nasib untuk menjadi juara. Seperti kontes-kontes sejenis yang belakangan marak di televisi Indonesia acara IMB ini cepat menjadi popular. Tidak semua pemenang yang dihasilkan adalah yang betul-betul yang punya bakat. Siapa yang bisa mengumpulkan suara paling banyak melalui SMS dia bisa saja menjadi juara.
Ini adalah tontonan  hasil jiplakan dari acara di Inggris ‘’ Britain’s Got Tallent ’’. Acara ini sempat terangkat derajatnya beberapa tahun yang lalu karena menghasilkan seorang penyanyi katrok yang bersuara dahsyat bernama Susan Boyle. Penampilannya sangat sederhana dan gaya pakaiannya juga bersahaja, jauh dari tampilan artis yang glamor. Tapi, Subo (begitu ia dikenal) mampu menarik penggemar dari seluruh dunia. Puluhan juta orang dari seantero dunia mendengarkan suaranya melalui Youtube. Dalam waktu singkat Subo menjadi artis yang mendunia.
IMB belum menghasilkan penyanyi sekelas Subo. Tapi itu kayaknya tidak penting. Yang lebih penting adalah acara ini bisa menggaet iklan sebanyak-banyaknya dan bisa menciptakan histeria massa. Soal kualitas tidak terlalu  penting. Tidak heran, yang tampil di IMB juga banyak penampil-penampil yang tidak benar-benar punya bakat. Yang penting dia punya potensi untuk dikarbit dan dipoles menjadi idola instan melalui manipulasi media.
IMB bukan satu-satunya program yang kita jiplak mentah-mentah dari Inggris. Satu lagi yang akan muncul adalah X-Factor yang bakal menjangkepi belasan acara reality show asal jiplak di televisi kita. Di masa lalu kita mengenal Indonesian Idol dan sejenisnya. Sekarang, IMB dan X-Factor yang mungkin akan kembali menghasilkan histeria massa seperti acara-acara sejenisnya di masa lalu.
Dalam jagat politik Indonesia, kita  juga terus-menerus berkutat dengan kesibukan ala IMB. Mulai dari pemilihan kepala daerah di level kota dan kabupaten, sampai ke tingkat nasional, yang terjadi sebenarnya adalah kontes politik ala IMB. Lihatlah pemilihan bupati atau walikota yang belakangan berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia. Di situ terlihat dengan jelas bahwa bukan bakat terbaik yang selalu muncul sebagai pemenang. Sebaliknya, mereka yang punya koneksi dengan uang dan mesin politik yang kuat untuk memanipulasi histeria massa-lah yang bisa memenangi kontes politik itu.
Di sebuah kabupaten di Jawa Timur seorang anak ingusan berhasil memenangkan pemilihan bupati dengan suara landslide sampai hampir 90 persen. Si anak itu adalah anak laki-laki dari bupati yang sudah dua periode memerintah. Sang bupati tuapun mendesain sang anak untuk menjadi putra mahkota. Dan dengan keterampilan politik ala IMB dari sang bupati tua, akhirnya si anak bisa menang mutlak.
Di sebuah kabupaten  lain, seorang bupati yang sudah dua periode memerintah tidak ingin begitu saja kehilangan kekuasaannya. Maka disiapkanlah sang istri untuk meneruskan takhtanya. Hebatnya lagi, sang bupati ini punyai dua istri, dan dua-duanya disiapkan untuk sama-sama maju bersaing memperebutkan kursi bupati. And the winner is……sang istri tua. Maka jadilah sang istri tua bupati baru dan sang suami pun menjadi staf ahli sang bupati baru.
Masih mau contoh lagi? Di sebuah kabupaten lain sang bupati yang sudah dua periode berkuasa mempersiapkan calon penerus takhta. Kali ini, sang istri yang sudah dipersiapkan untuk meneruskan kekuasaan ternyata harus dicerai oleh sang bupati karena skandal perselingkuhan. Tidak perlu waktu lama, sang bupati akhirnya menikah lagi. Ketika harus mempersiapkan sang penerus takhta, sang bupati pun tengok kiri tengok kanan. Pilihan pun jatuh kepada sang istri baru. And the winner is……iya betul….sang istri baru!
Akankah kontes politik ala IMB ini terjadi pula pada level nasional? Mungkin saja. Proses rekurtmen pemimpin politik di negeri kita ini masih belum ada sistemnya yang jelas. Kita belum punya sistem politik yang memungkinkan seorang kader terbaik bangsa untuk menjadi presiden. Soekarno muncul sebagai presiden dari perut revolusi fisik dan akhirnya dikudeta secara halus oleh tentara.
Soeharto menjadi presiden dari hasil manipulasi kekuatan angkatan bersenjata yang akhirnya dijatuhkan oleh kekuatan massa. Habibie lahir sebagai presiden insidentil yang lahir di masa transisi yang penuh turbulensi, dan tidak bisa bertahan lama. Abdurrahman Wahid tidak mampu menggalang kekuatan mayoritas untuk mendukung langkah-langkah politiknya yang eksentrik dan harus menyerah kepada DPR di tengah jalan. Megawati menjadi presiden setengah jalan dan akhirnya gagal memenangkan kontes pemilihan langsung.
Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pertama yang terpilih melalui kontes yang terbuka. Dalam 2 periode kepemimpinannya ia tidak berhasil membuktikan janjinya yang paling utama yaitu perang anti-korupsi. Dan mungkin saja dia bisa menjadi presiden pertama yang diadili karena kasus korupsi.
Ini memang harga demokrasi liberal yang harus kita bayar. Sebagaimana acara IMB yang kita jiplak mentah-metah dari luar negeri, sistem demokrasi liberal yang kita terapkan sekarang ini pun menjiplak mentah-mentah dari Amerika.
Demokrasi adalah sistem politil terbaik di antara sistem yang ada. Hampir semua sepakat akan hal itu. Tetapi bahwa demokrasi dan seluruh tatanannya itu bersifat universal, itu yang bisa memicu perdebatan panas. Bahkan di Amerika Serikat pun sistem pemilihan presidennya bukan pemilihan langsung seperti yang kita pakai sekarang.
Pilpres Amerika adalah pemilihan electoral college. Siapa yang mengumpulkan electoral college terbanyak dialah yang menjadi presiden. Pilpres Amerika bisa berlangsung baik karena didukung sistem dwipartai yang sudah mapan dengan garis ideologi yang jelas dan tegas; Anda seorang liberal Anda ikut Partai Demokrat, dan kalau Anda konservatif ikutlah Partai Republik. Tentu saja tidak sesederhana itu. Banyak isu-isu politik yang saling silang sengkarut dan membuat orang sulit menentukan pilihan dan menjadi swing voters yang sangat menentukan kemenangan. Tetapi, secara umum garis politik Amerika tidak pernah jauh dari liberal dan konservatif yang diwakili dua partai itu.
Rekrutmen politik di Amerika dilakukan melalui konvensi yang panjang dan melelahkan sebelum akhirnya sebuah partai mendominasikan seorang Capres. Tentu saja ini butuh biaya mahal. Seorang calon presiden harus kaya raya, atau kalau tidak, dia harus bisa menggalang dana yang cukup besar untuk membiayai kampanyenya. Tentu saja berbagi pat-gulipat terjadi. Tetapi undang-undang yang mengatur donasi politik sudah sangat mapan, dan setiap donasi politik diaudit  secara transparan.
Di Indonesia sistem partainya acak-adut. Puluhan partai yang tidak jelas garis ideologinya berebut saling sikut dalam pemilihan presiden langsung yang karut marut. Koalisi terjadi bukan atas garis ideologi tetapi atas dasar dagang sapi, ente jual ane beli, fulus jadi ideologi utama. Sumber pendanaan partai tidak jelas, sehingga terjadilah apa yang oleh Dr. Kuskridho Ambardi disebut sebagai “Politik Kartel”, di mana partai berebut sumber dana dari proyek negara. Korupsi oleh orang parpol pun menjadi jamak. Anak-anak muda pintar yang terjun menjadi politisi itu pun menjadi pemain anggaran negara yang canggih.
Rekrutmen calon presiden tidak pernah ada standar. Siapa yang punya banyak uang dan bisa membeli partai—untuk kemudian menjadi ketua partai—pasti akan dinominasikan sebagai capres. Atau kalau ada cukup mujur –dan bisa sering membuat sensasi dan muncul secara reguler di media—Anda pun akan dicalonkan menjadi presiden. Rekam jejak tidak pernah penting. Latar belakang calon tidak pernah diperdebatkan secara terbuka untuk mengungkap kualitas seorang calon.
Jabatan presiden adalah jabatan tertinggi di sebuah negeri dan sifatnya sakral. Orang yang terbaik di antara yang ada –primus interares—dialah yang layak menjadi presiden. Presiden bukan kucing. Kita tidak boleh membelinya dalam karung tertutup. Karena itu kita harus tahu persis rekam jejaknya dari awal sampai akhir. Itulah yang harus kita lakukan kalau kita mau konsisten dengan sistem politik liberal yang kita pakai sekarang ini.
Demokrasi liberal yang diterapkan di Amerika adalah demokrasi khas Amerika. Tidak semua negara yang ingin  menerapkan demokrasi harus menjiplak Amerika. Tetapi demokrasi mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama siapa pun dia. Tetapi, bahkan di Amerika pun, seorang kulit hitam  baru bisa menjadi presiden setelah negara itu merdeka lebih dari 200 tahun.
Meski mengklaim diri sebagai negara multikulturalis yang bebas, Amerika Serikat tetaplah negara yang berdasarkan kepada ideologi WASP (White Anglo Saxon Protestan). Menu utama Amerika tetap didominasi oleh keturunan barat berkulit putih dan beragama Protestan. Kelompok itulah yang mendominasi politik Amerika sejak awal terbentuknya  negara itu sampai sekarang, atau mungkin sampai kapan pun. Satu-satunya presiden Amerika Serikat yang tidak beragama Protestan adalah John  F. Kennedy, dan kita semua tahu nasib apa yang terjadi kepadanya.
Pada Pemilu Amerika tahu ini calon petahana (incumbent) Barack Obama berhadapan dengan Mitt Romney yang beragama Mormon. Obama tetap menang tipis meskipun pernah diisukan beragama Islam pada pemilu presiden pertama.
Pakar politik Amerika, Samuel Huntington sempat mencemaskan lanskap politik Amerika itu. Dalam kondisi yang semakin terbuka, dominasi WASP bisa terancam. Dalam bukunya “Who I am?” Huntington jelas-jelas menunjukkan keresahannya akan terancamnya identitas bangsa Amerika, karena semakin banyaknya imigran asing yang masuk ke Amerika Serikat. Sekarang ini, kelompok hispanik menjadi kelompok yang sangat dominan di berbagai wilayah Amerika. Bahkan sekarang ini orang tidak perlu bisa berbahasa Inggris untuk bisa menjadi pengusaha di Amerika, karena negara itu sudah menjadi negara bilingual dengan bahasa Inggris dan bahasa Latin hispanik sebagai bahasa utama.
Inilah yang membuat Huntington resah. Apakah Amerika menjadi the melting pot society di mana orang-orang imigran harus melebur menjadi “satu Amerika”. Ataukah Amerika tetap menjadi the salad bowl society di mana para imigran tetap mempertahankan identitas bahasa dan budayanya. Huntington berada pada garis konservatif yang menginginkan bahwa WASP adalah menu utama demokrasi dan budaya Amerika. Tetapi pada pendulum yang lain ada pula yang mengehndaki Amerika menjadi negeri yang lebih plural dengan ragam budaya yang kaya.
Itulah pekuliaritas demokrasi yang harus kita terima sebagai bagian yang membuat demokrasi akan menjadi lebih sehat dan kuat. Dalam hal keragaman budaya, Indonesia jauh lebih kaya dari Amerika. Beruntung kita disatukan oleh Bahasa Indonesia yang menjadi perekat bersama. Kita meyakini bahwa Bhineka Tungggal Ika akan menjadikan Indonesia kuat dalam keragaman. Meski begitu, Indonesia juga punya pekuliaritas demokrasinya sendiri. Bahwa presiden Indonesia harus orang Jawa dan beragama Islam, itu adalah political wisdom yang sudah diakui bersama. Perdebatan akan terus terjadi mengenai hal itu, dan itulah yang akan membuat demokrasi Indonesia semakin matang.
Itulah plus-minus demokrasi yang harus kita terima. Dan itulah yang membuat pesta demokrasi di Indonesia selalu hingar bingar  penuh gairah.*
Sumber : Majalah ETOS edisi 01, Pebruari 2013.
Dhimam Abror Djuraid (Penulis)

2 komentar:

  1. memang sulit mencari bakat, apalagi guru SD kayak saya. yg jelas, rakyat indonesia punya banyak bakat yg mampu membangun negeri ini. semoga tanpa kepura-puraan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang lebih penting lagi kita selaku guru (SD) jangan ikut hanyut bersama mereka yang duduk dalam pemangku kepentingan bidang pendidikan yang semakin hipokrit karena hanya mengikuti kehendak BOS-nya yang telah mengangkatnya mnjdi pejabat di dindik. Kadang kita semakin tahu kepura-puraan mereka, semakin lenyap satu per satu rasa idealis untuk menjadi guru yang ikhlas, semoga ! Sukses buat Kang Gurusydi

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !