Obrolan Orang Awam Tentang Caleg, di Warung Pinggir Jalan . Seperti biasanya, kalau selepas shalat ashar saya menuju ke Warung kaki limanya di kampung. Kebetulan warung itu berdekatan dengan masjid yang ada di depan rumah saya. Keadaan warung selalu ramai, karena di sampingnya terdapat bengkel las Kang Saman yang selalu banyak order. Yang berkumpul di situ biasanya kebanyakan ibu-ibu muda dan pemuda serta pendatang (sopir) yang sedang menunggu mobilnya kelar dilas. Di sinilah ibu-ibu muda dan kadang-kadang Bapak-Bapak berkumpul menghabiskan waktu sampai datangnya waktu maghrib. Akh, seperti orang senang saja, tanpa kegiatan yang lebih urgen, mereka termasuk saya, malah kongkow-kongkow, ngobrol naglor ngidul tanpa tema yang jelas, silih berganti.
Karena letak warung di pinggir jalan raya, maka tidak heran apabila kami melihat pepohonan dan pagar rumah dihiasi oleh gambar-gambar dengan temperamen yang familiar. Maklum, sebentar lagi kita akan melaksanakan pesta demokrasi yakni Pemilu 2014. Mereka yang gambarnya menghiasi sisi jalan raya adalah para caleg dari tingkat kabupaten, propinsi dan pusat (DPR RI).
Kata awam yang saya tulis di atas maksud saya bukan berarti mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa. Mereka ternyata sekali-sekali suka melihat berita di TV, kalau internet sepertinya mustahil. Buktinya, ketika ada di antara mereka yang nyeletuk membicarakan tentang salah satu caleg yang wajahnya tampan, mereka sambung-menyambung saling menimpali. Ujung-ujungnya pembicaraan mereka bermuara pada harapan menerima amplop dari caleg yang berperang di dapil 3 (Cikeusal, Petir, Baros, Tunjung Teja, Pamarayan dan Bandung). Ungkapan klise yang masih tetap sah muncul dari mereka. Mereka hanya akan memilih caleg yang memberinya uang walaupun besarnya tak seberapa. Alasan mereka juga klise, karena para caleg apabila sudah duduk menjadi anggota dewan, lupa kepada kita yang memilihnya.
Ketika salah satu dari mereka ada yang mengamati gambar Jayeng Rana Caleg Propinsi Banten, orang ini mengatakan bahwa yang itu “jangan dipilih lagi” karena sudah masuk TV menerima mobil dari Wawan. Di sinilah ada kesempatan bagi saya untuk nimbrung secara serius sambil meluruskan apa yang dikatakan orang tadi. Nama Jayeng Rana memang terdengar mirip dengan Aeng Haerudin, sama-sama ada “eng”nya. Rupanya orang tadi lupa, maksudnya adalah Aeng Haerudin Ketua DPRD Propinsi Banten yang menerima gratifikasi dari Atut dan Wawan, yang sering disebut-sebut di TV. Jayeng Rana juga sama menerima gratifikasi namun jarang disebut-sebut di TV maupun internet.
Ungkapan “jangan dipilih lagi” menurut saya adalah satu ungkapan yang menggembirakan. Berarti, mereka sudah mengerti apa yang sedang ramai dibicarakan di media TV. Ini modal buat saya untuk lebih mempertegas pendirian mereka. Saya katakan, bukan hanya Aeng Haerudin dan Jayeng Rana yang jangan dipilih lagi. Tapi semua Caleg Propinsi yang kini masih menjabat sebagai DPRD Banten jangan dipilih lagi, terutama caleg dari keluarga Atut. Ketika ada yang mengatakan ia tidak mengenal satu persatu dari Caleg-Caleg Propinsi, saya katakan “kalau begitu jangan memilih siapa pun untuk tingkat propinsi”. Hanya 5 nama pimpinan DPRD Banten yang sempat saya sebutkan : Aeng Haerudin, Jayeng Rana, Eli Mulyadi, EI Nurul Khotimah dan Suparman, SH,. M.Si. Ingin rasanya saya membekali mereka dengan daftar nama-nama anggota Dewan yang kini bertengger di sana dan mencalonkan diri lagi.
Terdengar ekstrim memang apa yang diungkapkan saya kepada mereka. Mengapa saya harus seperti itu? Karena rasanya tidak ada lagi cara untuk memasuki wilayah mereka agar mereka mengerti betul, apa itu memilih wakil rakyat. Kalau kita anggap mereka tidak mengerti apa-apa, maka kita yang lebih mengerti akan menganggap mereka adalah rakyat yang harus kita lindungi dari para penipu rakyat. Maka apabila kita yang mengerti masih memilih mereka yang masih narsis, berdosalah rasanya kita. Saya mendambakan mereka yang disebut awam, agar awamnya sama dengan saya, agar mereka tamat menjadi orang yang menamakan diri wakil rakyat.
Benar-benar trauma. Wallahua’lam.Terdengar ekstrim memang apa yang diungkapkan saya kepada mereka. Mengapa saya harus seperti itu? Karena rasanya tidak ada lagi cara untuk memasuki wilayah mereka agar mereka mengerti betul, apa itu memilih wakil rakyat. Kalau kita anggap mereka tidak mengerti apa-apa, maka kita yang lebih mengerti akan menganggap mereka adalah rakyat yang harus kita lindungi dari para penipu rakyat. Maka apabila kita yang mengerti masih memilih mereka yang masih narsis, berdosalah rasanya kita. Saya mendambakan mereka yang disebut awam, agar awamnya sama dengan saya, agar mereka tamat menjadi orang yang menamakan diri wakil rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !