Selasa, 21 Januari 2014

Dekadensi Moral Kaum Pelajar

Dekadensi Moral Kaum Pelajar . Akhir-akhir ini (7 bulan yang lalu) publik dibuat gempar oleh terbongkarnya jaringan prostitusi yang melibatkan pelajar di bawah umur. Sebagaimana diberitakan banyak media, Satreskrim Poltabes Surabaya pada 11 Juni menangkap mucikari berinisial NA (15 tahun). NA merupakan pelajar kelas VIII sebuah SMP swasta di kawasan Gubeng, Surabaya.

Terlibatnya NA sebagai mucikari dalam bisnis prostitusi sudah barang tentu menampar pendidikan kita. Ini membuktikan betapa pendidikan kita sejauh ini masih belum cukup mampu mengangkat moral dan karakter pelajar. Dengan kejadian ini diakui atau tidak peristiwa tersebut mengindikasikann atas adanya problem, atau setidaknya ada yang kurang optimal dengan proses pelaksanaan pendidikan kita.

Demikian sangat terbukti nyata ketika kita sering mendapati beragam persoalan moral yang malanda generasi harapan bangsa, pelajar. Tak terkecuali yang menimpa NA sekarang. Peristiwa terungkapnya kasus NA sebagai mucikari bisnis prostitusi hanya secuil bukti dari sekian banyak kasus anomali pelajar didataran pendidikan kita. mash banyak lagi kasus sama yang keberadaannya mash tertutupi dan belum disentuh.

Tidak menutup kemungkinan jika pihak berwajib, dalam hal ini aparat polisi mendalami kasus tersebut secra intens, maka penulis yakin beberapa kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur akan terungkan dan diungkap. Terlebih kita tahu, kasus kekerasan terhadap dan anomali yang menimpa generasi muda kita bukan saja berkutat dibidang prostitusi, namun banyak lagi kasus anomali lain tak kalah lebih bahayanya. Misal, perdagangan, pemaksaan kerja, dan perbudakan buruh sebagaimana terjadi di Tanggerang kemarin.
Harus diakui putaran globalisasi yang begitu cepat menyebabkan tranformasi sosial berjalan mempesat. Pada kondisi ini peruabahan diberbagai sektor tak ubahnya suatu keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Diawali dari mempesatnya perkembangan teknologi, akses informasi yang kian mudah, ditambah lagi terbukanya proses akulturasi dan asimilasi budaya menyebabkan pelajar kita mudah terkontaminasi oleh arus globalisasai.
Pada batasan demikian, maka membentengi generasi muda dari segala keumungkinan yang mengancam eksistensi dan karakter diri mereka harus benar-benar diperhatikan. Bila tidak demikian, maka bukan tidak mungkin jika pada suatu saat nanti  generasi kita akan dihadapkan pada krisi moral berkepanjangan. Sebagaimana yang tejadi dalam kasus NA di atas.
Pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia, mewujudkan pribadi-pribadi berahlak, bermoral, berperangai baik. Berkuallitas serta memiliki integritas diri yang kuat. Bagi lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta memenuhi kriteria di muka adalah satu keniscayaan yang tidak boleh dikesampingkan. Karena demikian merupakan amanat undang-undang yang harus dipenuhi, sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada pasal 3 yang pada intinya pendidikan ditujukan mewujudkan manusia berkualitas sekaligus barkarakter.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Peristiwa terungkapnya mucikari pelajar SMP di Surabya menunjukkan, bahwa demoralisasi dunia pelajar saat ini betul-betul berada pada posisi mengkhawatirkan. Banyak faktor yang bisa dijadikan pangkal penyebabnya. Namun jelasnya, krisis tersebut muncul dikarenakan minimnya semangat etika-moral.

Dengan artian, pengembangan potensi pelajar yang minim dari muatan keimanan dan ketaqwaan membuat pelajar terjebak pada paradigma hidup positivistik, yaitu sebuah pandangan hidup yang didominasi oleh hedonis. Akibatnya, religiusitas dalam diri mereka semakin mengecil dan tereduksi pada apa yang disebut oleh keduniaan. Lebih mementingkan estetika ketimbang etika, cenderung individualitas ketimbang solidaritas.
Kondisi demikian tidak berbanding lurus dengan tujuan dilaksanakannya Pendidikan Nasional, yang tercantum dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pada pasal 3 (tiga). Dimana disitu disebutkan bahwa, pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa-Negara, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mengacu pada fungsi sistem pendidikan nasional di atas, diterapkannya pendidikan bagi segenab lapisan masyarakat tak lain adalah sebagai upaya membentuk bangsa berkualitas, memiliki wawasan luas disertai oleh jiwa spiritualitas yang kuat. Melalui pola semacam ini, maka diharapkan seorang pelajar memiliki kompetensi tepat guna, tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai integritas dirinya. Salah satu metode yang dapat dijadikan pendekatan dalam meraih kemampuan ini adalah dengan mewujudkan kompetensi pelajar berkarakter.
Pendekatan ini sebenaranya poin inti yang perlu ditanamkan dalam diri pelajar. yaitu membangun karakter diri mereka sedalam mungkin melalui pengadopsian prinsip-prinsip moralitas untuk kemudian diintegrasikan dalam proses belajar. Seperti pengetahuan, kesadaran, ahlakul karimah, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai terpuji. Baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama lingkungan, maupun kebangsaan. Sehingga pada akhirnya mampu menciptakan sumber daya manusia berkualitas sekaligus berintegritas.
Sejauh ini, pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual Pelajar tidak begitu diperhatikan. Bahkan pembinannya pun hanya sebatas agenda tahunan yang diadakan satu kali dalam setiap tahunnya. Hal ini tentu saja berpengaruh besar pada gersangnya nilai emosional dan spiritual dikalangan pelajar, lantaran potensi yang mereka miliki sebatas pada pengembangan intelektual saja (IQ). Hal ini mengakibatkan potensi pelajar berkutat dibidang teknis dan teoritis saja. Sedangkan perilaku dan sikap mereka mengalami problem akut dikarenakan miskin dari muatan nilai-nilai humanis dan ahlakul karimah.
Jika mau jujur, wacana pendidikan karakter yang nyaring digemakan dalam sistem pendidikan kita (sekan) sebatas pada formalitas. Sehingga apa yang muncul adalah gagasan pendidikan karakter tak ubahnya tong konsong yang tidak terbukti hasilnya. Sedangkan moralitas para pelajar semakin terancam dan mengalami dekadensi yang amat menghawatirkan.
Sungguh amat disayangkan memang, seorang pelajar yang masih duduk di bangku SMP sudah tercebur dalam kubangan bisnis haram. Bisa dibayangkan betapa moral generasi kita saat ini benar-benar berada dalam kondisi amat kronis. Jika yang demikian tidak cepat-cepat disigapi.
Apalagi sampai tidak dihiraukan. Maka bukan tidak mungkin jika dalam beberapa waktu kedepan generasi kita akan dihadapkan pada persoalan besar perihal moral dan etika mereka yang semakin buruk. Karenanya, belajar dari peristiwa di atas merupakan keniscayaan bagi semua  pihak untuk senantiasa memperhatikan dan ikut serta mendidik pemuda kita. Agar nantinya tatanan moral, sikap, dan perilaku pelajar kita tetap terjaga dengan baik, berkarakter dan berahlak mulia. Semoga!
Penulis : Aniyatussholihah
Aniyatussholihah
 Mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura.
Situs Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2013/07/04/95/831686/ironi-dekadensi-moral-kaum-pelajar

2 komentar:

  1. Suatu fenomena yang membuka pikiran,terima kasih sebelumnya, guru memang ujung tombak dari peningkatan kualitas anak bangsa.Kesalahan negatif pada anak bangsa bukan tertuju pada guru saja.Seharusnyalah segala komponen masyarakat saling bekerjasama agar tercapai tujuan SPN No.20 Thn. 2003. Berharap guru memiliki otonomi dalam mencerdaskan anak bangsa...☺



    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !