Kamis, 14 Februari 2013

Hubungan Antara Keimanan dan Ilmu Tauhid

 Hubungan Antara Keimanan dan Ilmu Tauhid

Tanya: 
Di banyak lembaga pendidikan Islam, pelajaran Tauhid merupakan materi wajib. Padahal banyak kalangan awam yang tidak begitu mengenal, bahkan tidak pernah mempelajari, materi Ilmu Tauhid, Pertanyaan kami:
  1. Apa sebenarnya manfaat belajar Ilmu Tauhid? Kenapa   sebagian kalangan fuqaha’, sufi, dan lainnya, melarang umat Islam mempelajari Ilmu Kalam?
  2. Apakah Ilmu Tauhid pernah disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW.?
  3. Apakah keimanan seseorang dianggap sah meskipun tidak pernah belajar ilmu tauhid?

Muhammad Misbah - Kuala Tungkal, Jambi

Jawab: 

1. Manfaat mempelajari Ilmu Tauhid adalah agar seseorang, terutama kalangan cendekiawan, mampu mengetahui dan menghayati kebenaran ajaran Islam secara lebih mantap dan meyakinkan. Karena pengetahuannya diperoleh, selain melalui penalaran aqliyah dengan argumentasi rasional sesuai metode berfikir, juga secara naqliyah berupa dalil-dalil al-Quran dan hadits sebagai dasar argumentasinya.

Kalangan fuqaha’, sufi, dan lainnya, sebenarnya tidak melarang pembelajaran Ilmu Tauhid. Sebab, masing-masing pihak sebenarnya sama-sama ingin menguak kebenaran Islam dari sudut pandang dan ruang lingkup permasalahan yang berbeda, sesuai dengan ajaran dan tuntutan Islam yang beraneka ragam pula. Hal ini seirama dengan beragamnya status, peran, dan fungsi manusia sesuai situasi, kondisi, dan keadaan yang berbeda-beda pula. 

Oleh karena itu, jika ada pelarangan semacam itu, maka selain hanya bersifat subjektif belaka dari ulama bersangkutan, hal itu juga tidak bisa digeneralisir secara menyeluruh. Hal ini mengingat, bahwa ternyata banyak sekali ulama terkemuka yang justru “doble status”, seperti Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111M.) yang dikenal sebagai sufi sekaligus teolog. Bahkan sebelumnya, Imam Abu Hanifah selaku Imam Madzhab, membagi ilmu fiqh menjadi dua; Fiqh al-Akbar, yakni yang membahas masalah keyakinan dan pokok-pokok agama atau Ushuluddin (yang kemudian dikenal dengan Ilmu Tauhid); dan Fiqh al-Asghar, yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan muamalah yang dikategorikan hanya sebagai furu’ atau bagian dari Ushuluddin. Demikian halnya dengan Ibnu Arabi (560-638 H.) yang hidup di bagian barat Negeri Islam, Spanyol. Selain dikenal sebagai tokoh sufi dengan ajaran wahdatul wujudnya, Ibnu Arabi juga tokoh fiqh yang pendapat-pendapatnya masih terus dipelajari oleh umat Islam di berbagai belahan dunia hingga sekarang.

2. Ilmu Tauhid merupakan bagian dari ilmu agama secara keseluruhan; aqidah dan syari’ah; muamalah dan akhlaq. Secara spesifik, Nabi SAW. memang tidak mengajarkan (Ilmu Tauhid. Red) secara tersendiri, apalagi dengan memakai nama Ilmu Tauhid. Karena itu, nama Ilmu Tauhid baru dikenal beberapa abad sesudahnya. Sebagai sentral solusi bagi pemecahan berbagai problematika umat, maka Nabi SAW. telah mengajarkan seluruh ajaran agama Islam, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Hal ini terekam dalam kitab-kitab hadis, seperti kitab-kitab hadis shahih karya al-Bukhari dan Muslim, yang memuatnya dalam bab khusus, Kitab al-Iman. 

3. Imam seseorang tetap sah dan benar, meskipun dia tidak pernah belajar Ilmu Tauhid. Ukuran keabsahan iman tidak terletak pada pembelajaran bidang ilmu tertentu, melainkan pada keyakinan yang sebenar-benarnya terhadap 6 rukun iman; yaitu 1) Percaya dengan adanya Allah Swt. sebagai satusatunya dzat yang dipertuhankan, wajib disembah, dan patut dimintai pertolongan; 2) percaya dengan adanya malaikat-Nya; 3) Kitab-kitab suci-Nya; 4) para Rasul-Nya; 5) keberadan kiamat; dan 6) ketentuan takdir, baik ataupun buruk. (Uraian lengkapnya dapat dilihat dalam al-Wafi karya Musthafa Dibb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, hal.12).

Dijawab oleh: Prof. Dr. H. M. Djamaluddin Miri, M.A (Mudir Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng)

Sumber: www.tebuireng.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !