Minggu, 15 September 2013

Bentuk dan Fungsi Referensi Personal dalam Novel Safinah Berkalung Jilbab

Di bawah ini terdapat beberapa kutipan novel yang menunjukan pemakaian bentuk dan fungsi referensi personal:
Sebenarnya, Badrun sama sekali tak mau peduli. Munif mau bangun sampai setengah hari, atau setengah abad, juga tak apa-apa. Namun, dia yang baru saja begadang semalaman, baru saja nonton debat partai yang tak penting, kemudian dilanjutkan dengan nonton film yang juga tak kalah tak pentingnya, merasa tak dapat tidur pulas mendengar suara dengkur teman sekost seperjuangannya itu. (SBJ, 2009: 13).
Makna kata dia pada kutipan paragraf di atas menunjukan Badrun yang sebenarnya ingin tidur karena dia begadang semalaman nonton debat partai yang tak penting dan nonton film yang juga tak kalah tak pentingnya. Akan tetapi di kamar kostnya ada Munif yang tidur pulas. Jadi jelas untuk menelaah paragraf di atas diperlukan suatu kecermatan. Kata dia pada pargraf di atas berfungsi mengacu pada Badrun, karena yang berbicara adalah pengarang novel memberitahukan kepada pembaca. Berbeda halnya dengan kutipan berikut ini.
 “Lebih baik aku bangunkan dia, lantas barulah aku tidur pulas,” celetuknya. (SBJ, 2009: 13).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Munif yang dibangunkan oleh Badrun, karena yang berbicara adalah Badrun kepada dirinya sendiri atau kepada pembaca.
Jika saudara mendapat tulisan kaligrafi pada dinding kamar itu, maka hanya lantaran Munif yang getolnya tujuh turunan-tujuh angkatan untuk ngumpulin atribut keagamaan. Seperti sorban (sekalipun tak pernah dia pakai). Dan hanya ketika hari jum’at saja dia kalungkan sorban itu. Bukan untuk berpidato di atas mimbar sih! Namun di depan cermin kamarnya yang kusam, seringkali dia berlagak mirip ulama besar. (SBJ, 2009: 13).
Makna kata saudara pada paragraf di atas menunjukan kepada pembaca, yang berbicara pada paragraf di atas adalah pengarang ditujukan kepada pembaca. Jadi seolah-olah pengarang sedang berbcerita kepada pembaca tentang keadaan Munif. Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Munif yang berposisi sebagai obyek pembicaraan pada paaragraf tersebut. Munif betapa getolnya untuk mengumpulkan atribut keagamaan, seperti sorban sekalipun tidak pernah dipakai walaupun hanya dipakai ketika hari jum’at saja. Munif pun sering berlagak mirip ulama besar pada saat bercermin di kamarnya.
Dan satu lagi perkara yang berbau religi yang menjadi kegemarannya 1) adalah minyak wangi. Dia tak suka lagi minyak semprot ala anak muda. Tapi, lebih demen pake minyak oles dengan aroma bunga melati. “Kayak jenazah mau dimakamkan” celetuk Badrun waktu Munif lewat di hadapannya2). (SBJ, 2009: 14).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Munif yang memiliki kegemaran yang berbau religi yaitu memakai minyak wangi tapi bukan minyak wangi semprot ala anak muda akan tetapi lebih suka memakai minyak oles dengan aroma bunga melati seperti jenazah  yang mau dimakamkan. Makna kata nya yang pertama memang menunjukkan Munif sebagai obyek pembicaraan, karena yang berbicara adalah Badrun. Akan tetapi makna kata nya yang kedua mengacu pada Badrun, karena yang berbicara adalah pengarang kepada pembaca.
Dia lihat bagaimana mulut Munif menganga seperti buaya lagi menjemur tubuhnya. Maka keadaan seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan Badrun. “Wah, tinggal ngambil sendok, lalu masukin sesuap nasi pecel ke dalam mulutnya,” pikir Badrun. (SBJ, 2009: 15).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Badrun yang melihat mulut Munif menganga seperti buaya lagi menjemur tubuhnya dan Badrun pun mengerjai Munif yang masih tertidur dengan memasukan sesuap nasi pecel ke dalam mulut Munif. Sedangkan makna kata nya pada paragraf di atas mengacu pada Badrun, karena pengarang memberitahukan kepada pembaca tentang kegemaran Badrun yang suka usil terhadap perilaku Munif.
“Apa maksudnya, mbah?” Tanya Munif agak heran. Menurut dia sepanjang mengenyam hidup di Jogja, dan mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di universitas  negeri, tak pernah kedua telinganya mendengar sebutan ustad masa depan, atau masa lalu. Bahkan, dalam sejarah Zainuddin MZ, pada era sembilan puluhan sampai dua ribuan, tak pernah ustad bersorban itu mencetuskan sebutan masa depan atau masa lalu untuk seorang kyai. (SBJ, 2009: 16).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Munif. Munif yang merasa heran terhadap perkataan mbah Markono yang mengatakan bahwa adanya ustad masa depan atau masa lalu.
Kembali kepada kamar kost, kembali kepada Munif yang marah gara-gara gigi gerahamnya disakiti sendok Badrun. Kembali kita mendengar amarah Munif, “ah, kau itu, Drun, sukanya gangguin orang saja. Haram hukumnya. Tak boleh. Lama-lama bisa masuk neraka.” (SBJ, 2009: 19).
Makna kata kita pada paragraf di atas menunjukan kepada pembaca. Pengarang mengajak kepada pembaca untuk kembali pada pokok cerita novel ini, yaitu marahnya Munif. Sedangkan makna kata nya pada paragraf di atas, mengacu pada Munif yang gigi gerahamnya disakiti oleh sendok.
Bisa saudara dengar, kan? Lelaki berusia tak jelas antara dua puluh dua sampai dua puluh tujuh ini, memang selalu terobsesi menjadi penda’i. baru saja bangun dari tidur, sudah mengeluarkan kalimat-kalimat yang berbau surga. Ah, biarlah yang terpenting pagi itu ada yang hendak dia ceritakan. Sepertinya sangat penting. Sebab nasi pecel yang masuk rentetan perkara yang diidolakannya, tak dia gubris. (Sekedar pemberitahuan, Munif itu, mencatat sepuluh sesuatu yang menjadi idolanya. Atau dalam bahasa Munif, disebut, My Idol).
Makna kata saudara pada paragraf di atas menunjukkan pembaca untuk tidak terlalu berobsesi menjadi penda`i, apalagi tidak ada kejelasan baik usia serta tidak memiliki kemampuan pada bidang tersebut. Dan makana kata dia pada paragraf di atas menunjukkan Munif yang menceramahi Badrun.
Nomor 1: Tentu adalah Zainuddin MZ, kecintaannya terhadap beliau, mengandung banyak alasan. Bila saudara menyuruh Munif menyebutkan alasan-alasan tersebut, maka perlu waktu dua hari setengah malam. (SBJ, 2009: 19).
Makna kata beliau pada paragraf di atas menunjukan Zainuddin MZ. KH. Zainuddin MZ adalah tokoh nyata. Jadi pengarang novel ini menganggap kisah si Munif benar-benar terjadi karena pengarang memasukan tokoh nyata ke dalam novel tersebut. Seolah-olah tokoh rekaan berkomunikasi dengan tokoh nyata.
Nomor 2: Nasi pecel. Lebih-lebih nasi pecel mbok Yem. Sebab kata Badrun, nasi pecel mbok Yem mangandung aroma yang menerbangkan imajinasi ke alam barzah. Ah, tidak, tidak. Keliru! Maksudnya menerbangkan imajinasi ke alam indah, mungkin surga, ya kalau sambil makannya dia dengerin lantunan Qur’an dari Imam Sudais. Atau, sambil melototin gambar Ka’bah. (SBJ, 2009: 19-20).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukkan Badrun yang memuji nasi pecel mbok Yem yang mengandung aroma yang menerbangkan imajinasi ke alam indah mungkin juga ke alam surga.
Nomor 3 : Bercerita. Maksudnya menceritakan pribadinya sendiri. Atau, kehidupan keluarganya yang menurut dia, penuh perjuangan. Penuh keringat “Tapi tidak bau,” dalihnya. (SBJ, 2009: 20).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan pengakuan kehidupan Munif dan keluarganya yang penuh perjuangan dan pengorbanan.
Sebenarnya, perempuan itu tak 100 % perempuansial. Berulangkali, ketika Munif-Badrun tak mampu membeli sebungkus nasi sebab kantong mereka lagi dihukum orang tua untuk berhemat sedikit, maka datanglah mereka ke kampus dengan langkah yang lesu tak berstamina. Mirip orang lagi puasa. Tapi, pada dasarnya, mereka sudah berniat apabila tak ada seorang kawan yang mengulurkan kepeduliannya atas bencana mereka berdua, bencana kelaparan maksudnya, maka mereka berniat untuk menjalankan puasa. “Lumayan, Drun. Hitung-hitung nabung pahala,” khutbah Munif. Dan Badrun mengiyakannya. (SBJ, 2009: 23).
Makna kata mereka dari paragraf di atas menunjukan Munif dan Badrun yang tak mampu untuk membeli sebungkus nasi karena keadaan ekonomi mereka tidak menunjang untuk membelinya. Munif dan Badrun berniat untuk menjalankan puasa apabila tidak ada orang yang peduli atas apa yang mereka alami yaitu kelaparan.
“Bila dia hendak ke sini, terus mau ngapain? tanya Munif heran.
“Lah, perempuan mau ke sini kok ditanya mau ngapain. Ya jelas, dia itu cinta banget sama kamu Nif” balas Badrun.
“Beruntung sekali jika kamu dicintainya. Patut bersujud lima puluh kali kamu, jika kamu mendapatkan perempuan seperti dia….” (SBJ, 2009: 30).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Faizah yang hendak bertamu ke kosannya Munif. Karena Faizah merupakan orang yang peduli terhadap Badrun dan Munif. Selain itu juga Faizah sangat cinta mati terhadap Munif.
Diam-diam dia menjalankan proyek resep Faizah. Tanpa sepengetahuan Munif. Toh kalaupun dia tahu, tak mungkin dia sampai hati melaporkan ke KOMNAS HAM, bahwa kawan sekostnya telah menelikungnya dari belakang. Menjalankan proyek dari seorang perempuan yang sejatinya Muniflah obyek proyek tersebut. Bukan Badrun. (SBJ, 2009: 40).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Badrun dan Munif. Badrun yang secara diam-diam menjalankan proyek resep dari Faizah tanpa sepengetahuan Munif. Kalaupun Munif tahu akan apa yang dilakukan oleh Badrun tapi Munif taka akan sampai hati melaporkan Badrun ke KOMNAS HAM.
Sesampainya di rumah tua, (ah, terlalu dini rumah itu dikatakan tua. Bagaimana kalau semi tua saja?) ya, di rumah yang semi tua yang tertulis sebuah nama H. Markono di atas daun pintunya, dia berhenti. Mengetuk pintu. Dan diucapkannya salam dengan lirih, lirih sekali. (SBJ, 2009: 44).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Safinah, yang dengan berjalan mengikuti jalan bekas marfu`ah ternyata menuju rumah H. Markono tempat kostannya Munif dan Badrun.
Dia duduk. Memencet tombol “ok” hapenya. Hape yang jauhnya antara langit tujuh sampai bumi bagian bawah bila dibandingkan dengan hape milik Munif. Dia memanggil seseorang. Dan terdengarlah…!
Dia tak merasa kesal. Bukankah muslimah yang patuh pantang menyulut amarah. Lebih-lebih diwaktu menjelang siang seperti sekarang. Menurut mereka yang ahli agama, ini waktu mustajab. Mujarab betul untuk mengkabulkan do’a. (SBJ, 2009: 45).
Makna kata dia pada paragraf di atas menunjukan Safinah yang  menelpon seseorang namun hp orang yang dituju sedang tidak aktif, tapi Safinah tetap bersabar menunggu dan berharap pada akhirnya ada orang yang menghampirinya.
Safinah bingung. Tak dilanjutkannya kalimat itu. Dia 1) berpikir sebentar. Dan diamnya Safinah, membuat mbah Markono melayangkan tebakan, bahwa perempuan cantik ini datang sebab ingin dibantu menyelesaikan perihal jodoh. Wah, ini perihal yang amat mudah. Tak perlu dia bersemedi. Tinggal dia2) panggil anak kostnya. Mungkin kandidat pertama yang dia panggil adalah Patih. Remaja asal Jawa Timur ini, yang sukanya nonton sinetron striping sehabis isya ini, memang sedang gila-gilanya dengan pernikahan. Terhitung dua kali keberaniannya melamar perempuan berujung dengan kekecewaan. Bila dia tak mau (sekalipun mustahil sekali dia nolak lamaran cewek secantik Safinah, kecuali kalau dia memang sadar diri bahwa derajat wajahnya yang super rendah, tak sebanding dengan kodrat kecantikan Safinah) maka alternatif kedua adalah Bandi. (SBJ, 2009: 48).
Makna kata dia pada kutipan di atas menunjukan Safinah dan Mbah Markono, dimana Safinah yang nampak kelihatan bingung mau bicara apa saat ditanya oleh Mbah Markono, sehingga Mbah Markono berasumsi bahwa Safinah mau menyelesaikan soal jodoh, maka Mbah Markono memanggil para anak-anak kostnya.
Imajinasi liarnya tumbuh. Terbayang wajah bu Narni serta mang Kardi. Kedua-duanya adalah orang-orang yang baliho kios hapenya ditabrak oleh Munif. “Maaf, pak, aku terburu-buru.” Dalihnya serta terburu-buru. Dan bu Narni sama mang Kardi, menajamkan mata tak terima. (SBJ, 2009: 52).
Makna kata aku pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif yang meminta maaf kepada bu Narmi dan mang Kardi, karena Munif menabrak kios hapenya bu Marni dan mang Kardi.
“Betul,” jawab Munif. Sambil menunduk. Lantas dia merasa kesal dengan kelakuannya yang salah tingkah. (SBJ, 2009: 54).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf diatas menunjukan Safinah yang kesal dengan ulah Munif yang salah tingkah saat ditanya.
Sebuah kerumitan memang, jikalau kita dibenturkan antara keterusterangan  dengan budaya moral yang tertanam dalam jiwa kita. Safinah yang adalah orang jawa, selalu di didik untuk tidak melecehkan orang sejelek apapun, atau bahkan secakep apapun dia. Namun terkadang fakta tak bisa menahan seseorang untuk berkata jujur apa adanya. (SBJ, 2009: 56).
Makna kata dia pada kutipan paragraf di atas menunjukan Safinah, meskipun yang menyatakannya adalah pengarang yang ditujukan kepada pembaca.
Ada yang dia1) suarakan dalam batin. Serupa rintihan, atau bahkan tangisan. Ah, tidak, tidak. Badrun hanya menggumam: “Ya Allah, segera Kau berikan apa yang selama ini kawanku impikan. Bila benar dia2)  kau takdirkan sebagai penda’i maka segerakanlah. Namun bila dia3) tidak kau berikan takdir semacam itu, ya…berikanlah saja. Sebab akan berakibat fatal bila kawanku ini ternyata menemui kegagalan dalam impiannya.” (SBJ, 2009: 63).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf diatas menunjukan Badrun dan Munif. Dia yang pertama menunjukan orang berbicara yaitu Badrun. Dia yang kedua adalah kawan Badrun. Berdasarkan data-data dari paragraf sebelumnya pada novel ini kawan Badrun adalah Munif. Jadi, yang dimaksud dia yang kedua adalah Munif.
“Fuiihhh….!” Badrun mengeluarkan napasnya. Kini dia berlari. Ada yang ingin dia kejar. Tentu sesuatu yang dia kejar itu ya….sesuatu yang indah. Bukan perempuan sih. Sebab alam indah itu, Badrun hanya berjalan sendiri.
Dia kejar sesuatu yang indah itu. Semakin kencang dia berlari, tapi….duh, semakin jauh juga dia. Sesuatu itu hinggap di ranting-ranting. Badrun melompat. Lompatan yang hebat, tapi tangan badrun tak berhasil meraihnya. Badrun menjauh dari ranting-ranting itu. Diambilnya jarak, lantas digerakan kedua kakinya cepat.”Satu…dua…tiga…Aku bisa!!!” (SBJ, 2009: 66).
         Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Badrun, yang berdasarkan data-data pada paragraf sebelumnya pada novel ini, bahwa Badrun ingin menangkap kupu-kupu.
Badrun menggerutu di dalam kamar. Menyesali kedatangan udin. Dia sesali pula tulisan yang Munif jadikan wallpaper komputer pengen pengsiun itu. “Walah! Gara-gara Udin, gara-gara tulisan ini juga aku tak jadi mengerti jenis pertemuan Munif dengan Safinah. Ya….semoga saja pertemuan itu tak ada sangkut-pautnya dengan asmara.’ Ucap Badrun. (SBJ, 2009: 108).
         Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Badrun yang menyesali kedatangan Udin dan tulisan yang Munif jadikan sebagai wallpaper pada komputer. Sehingga Badrun tidak tahu jenis pertemuan antara Munif dan Safinah.
Di dalam mobil cantik milik perempuan cantik dikemudikan sopir antik: berkacamata hitam, berambut panjang, tapi gaya bicaranya, “bo’, dingin-dingin begindang, enaknya ngapain yeee?” Nanti, kalu sudah sampai ditempatnya Akhi jangan ragu-ragu ya untuk berbicara. Dia1) biasa-biasa saja kok. Sekalipun wataknya agak keras.Munif manggut-manggut mengiyakan perintah Safinah itu. Di dalam mobil itu, Munif berulangkali memandang Safinah lewat kaca mobil. Sekali Dia2)  memandang, eh, jadi ketagihan untuk mengulangi lagi. Tapi pada aksi pandangannya yang kesembilan, dia jadi teringat kata haram. Maka bubarlah kesibukan itu. (SBJ, 2009: 110).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan teman Safinah dan Munif. Kata dia yang pertama adalah orang yang akan didatangi oleh Safinah dan Munif. Dia adalah temannya Safinah. Dia yang kedua adalah Munif yang sesekali memandangi Safinah.
“Ah tak apa-apa. Bukanlah kita baru saja mengucap salam dua kali. Dan dalam ajaran agama, batas salam seorang muslim sewaktu bertamu adalah tiga,” Munif mulai berkhutbah.
“Kita ucapkan salam sekali lagi yuk,” Safinah semangat lagi. Kedua matanya berbinar. Dia terlihat riang. Memandang Safinah seperti ini, Munif jadi terenyuh. Hatinya teriris, Munif luka.” Kalau saja kau jadi istriku, Fin…..”khayal Munif.
“Yuk, supaya salamnya terdengar sampai dalam ruangan sana, kita ngucapin salamnya bareng-bareng ya….” ajak Safinah. Munif kembali tenggelam dalam bayang-bayangnya. “Jangan tampakkan wajah riangmu dihadapanku, Fin. Bisa kacau batinku…”
“Ya, ide bagus itu.” Munif sudah kembali dari alam bawah sadarnya. Dia terima tawaran Safinah untuk ngucapin salam bareng-bareng. (SBJ, 2009: 113).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana berdasarkan data-data pada peragraf tersebut Munif yang sangat riang memandangi Safinah dan berhayal kelak Safinah menjadi istrinya Munif.
Kami sedang cari mbak Titin, bu!” jawab Safinah sedikit gugup. Perempuan berperawakan lebar sedikit mirip dengan Faizah itu, memang mempunyai suara lantang yang mengagetkan. (SBJ, 2009: 113).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif dan Safinah, dimana Safinah menjawab pertanyaan dari pemilik kost tempat Titin bertempat tinggal dengan sedikit gugup.
Safinah bingung. Di satu sisi, dia1) tak enak dengan Munif lantaran berlama-lama mengajaknya keluar. Ah mungkin Safinah tak bisa ngebaca batin Munif. Padahal, sedari dia2) keluar dari lokasi kostnya Titin, dia3) selalu berdo’a, “Ya Allah, aku tahu bahwa hujan adalah waktu mustajab. Maka kumohon, kabulkanlah do’aku, kabulkanlah keinginanku untuk berlama-lama di mobil ini. Kabulkanlah ya Allah!”
Safinah masih bingung. Dipertimbangkannya lagi sesuatu yang lain: yakni dia4) tak mau membuat Titin resah menunggu jawaban dari curahan hatinya. Apa lagi keadaannya sekarang tak jelas bagaimana. Dia pulang, tanpa pamit terlebih dahulu kepada Safinah. Dan…. (SBJ, 2009: 116)
Makna kata dia pada kutipan paragraf di atas adalah Safinah dan Munif. Dia yang pertama menunjukan Safinah, Safinah merasa tidak enak terhadap Munif lantaran sudah berlama-lama mengajak Munif keluar. Sedangkan kata dia yang kedua dan ketiga menunjukan Munif yang berdo’a agar permohonannya dikabulkan yaitu Munif ingin berlama-lama di mobil supaya bisa lebih lama bersama Safinah. Dan makna kata dia yang keempat yaitu menunjukan Safinah yang gelisah memikirkan temannya Titin, karena Titin pulang tanpa pamit terlebih dahulu kepada Safinah.
“Hape dia nggak aktif, Nif, kita mau kemana nih?” (SBJ, 2009: 117).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Titin, dimana Safinah pada waktu itu mencoba untuk menghubunginya akan tetapi hp Titin saat itu sedang tidak aktif.
Dia bolak-balik hape tersebut. Dibukanya inbox berulang kali. Dan layar hape masih menampakkan SMS Safinah. “Bener-bener bukan mimpi,” Munif bangga.
Setelah dia baca SMS Safinah itu, bergegasalah dia obrak-abrik rak bukunya. Dia cari kumpulan dzikir para Ulama Timur Tengah. Dia cari pula do’a-do’a Mujarab Muslim yang Tawakkal. Tapi, bersusah-sudah Munif membolak-balik halaman buku itu, tak dia temukan juga do’a permintaan Safinah.
Akhirnya dia rebahan kembali di atas kasur. Menggaruk-garuk seprei kasur, menggaruk-garuk pantat yang mendadak terasa gatal. “Ah, aku ingat! Bahwa doa yang paling fleksibel adalah shalawat. Begitu sabda Rasul.” (SBJ, 2009: 127).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif membolak-balikan hapenya setelah mendapat SMS dari Safinah dan berulang kali membuka kotak masuk yang ternyata benar-benar SMS dari Safinah sehingga Munif pun merasa bangga dengan dirinya sendiri. SMS Safinah yaitu berisi permintaan doa penghilang cemas kepada Munif. Pada paragraf kedua masih menunjukan Munif, dimana Munif sesudah membaca SMS dari Safinah kemudian dia langsung sibuk mencari kumpulan dzikir para Ulama Timur Tengah dan Munif pun mencari doa-doa mujarab orang muslim akan tetapi Munif tidak menemukan doa seperti apa yang diminta oleh Safinah.pada paragraf ketiga pun masih menunjukan Munif, dimana Munif akhirnya rebahan di atas kasur karena merasa pusing tidak menemukan doa seperti yang diminta oleh Safinah akan tetapi Munif menemukan juga doa yang paling fleksibel atas doa yang diminta oleh Safinah yaitu Shalawat sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul.
Safinah yang sibuk mencari korek api, Munif malah tenang-tenang saja di dalam kamar. Ah, bukankah gelap semakin membuat tidur seseorang semakin lelap. Barulah setelah hapenya berdering dia terbelalak kaget.” Loh-loh kok jadi gelap?”
Diabaikannya dering hape itu. Ada yang ingin dia cari: korek api. Namun malah ketemunya pemotong kuku. Hape yang terus berdering itu akhirnya dia genggam. Dia baca sebuah nama di layar hape itu.”Waduh, Faizah! Ada apa toh?” maka dibiarkanlah hape itu berdering sesuka hati. Dan kedua tangannya mencari-cari korek api.
Dia temukan korek api itu. Dia nyalakan, lantas dia ambil secarik kertas. Setelah kemudian di dapatinya lilin yang tinggal setengah batang. Maka nyalalah lilin itu.
Mengenai hape? Dia sudah berhenti berdering. Giliran Munif yang sekarang berdering heboh. Dia marah, jengkel, tapi tetep di akhiri istighfar.”Kenapa sih perempuan ini selalu saja ngejar-ngejar aku. Perasaan aku tak punya hutang sama dia. Duh, astaghfirullah, dech! (SBJ, 2009: 129).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf pertama menunjukan Munif, dimana Munif yang sedang tidur merasa kaget setelah hapenya berdering dan melihat keadaan di sekelilingnya berubah menjadi gelap karena mati lampu. Pada paragraf kedua masih menunjukan Munif, dimana Munif mengabaikan dering hapenya sedangkan dia mencari-cari korek api akan tetapi yang dia temukan bukan korek api melainkan pemotong kuku, hape yang terus berdering itu akhirnya Munif angkat dan dia merasa gelisah ketika nama yang muncul dari layar hp yaitu Faizah maka Munif pun membiarkannya dan kedua tangan Munif meneruskan pencarianya yaitu mencari korek api. Pada paragraf ketiga masih menunjukan Munif, dimana Munif akhirnya menemukan yang dicarinya yaitu korek api kemudian setelah itu menemukan sebuah lilin yang tinggal setengah dan Munif pun langsung menyalakan lilin yang tinggal setengah itu. Pada paragraf keempat juga masih menunjukan hp dan Munif, dimana hp munif pada saat itu sudah berhenti berdering dan Munif merasa marah dan jengkel karena Faizah selalu mengejar-ngejarnya tapi Faizah mengejar-ngejar Munif untuk menagih hutang akan tetapi Faizah sangat cinta berat sama Munif sehingga Faizah mau melakukan apapun untuk menaklukan hati pujaan hatinya itu.
Munif yang masih memakai baju koko seperti semalam, masih duduk di atas sajadah semalam, masih di dalam kamar kost semalam, masih dengan bersin-bersin semalam, menerima telepon itu dengan bangga. Lantas dia tulislah hari itu, sebagai hari paling indah sepanjang dia dilahirkan sampai dia dicabut izrail kelak. (SBJ, 2009: 131).
Makna kata yang dicetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif merasa bangga karena mendapat telepon dari Safinah wanita pujaannya itu, kemudian Munif menuliskan hari dia mendapat telepon dari Safinah merupakan hari paling indah sepanjang Munif dilahirkan sampai Munif dicabut izrail kelak.
 “Ya. Dia itu sedang dirundung kegelisahan kemarin hari. Mendadak saja dia pulang ke kampung halamanya Hapenya tak aktif lagi.” (SBJ, 2009: 133).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Titin teman dekatnya Safinah, dimana Titin sedang dirundung kegelisahan dan kemarin hari Titin pulang kekampung halamannya selain itu hapenya Titin pun pada saat itu tidak aktif.
Sekalipun dia bukan siapa-siapa aku, tapi aku mempunyai ikatan batin yang sangat erat dengan keluarganyal. Dengan anaknya, dengan istrinya, dengan siapa saja yang menghuni rumah itu.”
Dia masih sakit, Tin?” (SBJ, 2009: 138).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan bapak tua tetangganya Titin yang sedang mengalami sakit-sakitan.
Ibu yang sedang menjajakan ikan, bocah lelaki itu pergi ke sekolah. Sedang sang bapak dibiarkan sendiri. Untungnya dia mempunyai tetangga sebaik ibu Titin, maka sebelum dia berangkat ke kantor (kira-kira pukul setengah delapan) ibunya Titin menyibukan dirinya menjaga bapak tua itu. Sebab biasanya pada jam-jam itulah dia muntah-muntah. Ketika ibu Titin pergi ke kantor, maka sendirilah bapak tua itu. Namun, hal demikian tak masalah bilamana semua kebutuhannya sudah terpenuhi: dia sudah memuntahkan ludahnya, dan sarapan nasi secangkirnya sudah dia lahap. (SBJ, 2009: 141).
Makna kata dia yang pertama pada kutipan paragraf di atas menunjukan bapak tua tetangganya Titin yang sedang sakit-sakitan. Sedangkan  istriya menjajakan ikan dan anak lelakinya pergi ke sekolah sehingga bapak tua itu sendirian di rumah. Untungnya bapak tua tersebut mempunyai tetangga sebaik ibunya Titin, dimana setiap sebelum pergi ke kantor ibunya Titin selalu menjaganya karena pada jam-jam itulah bapak tua tersebut muntah-muntah akan tetapi ketika ibunya Titin pergi ke kantor maka sendirianlah bapak tua itu di rumah, akan tidak masalah karena semua kebutuhan bapak tua itu sudah terpenuhi yaitu bapak tua itu sudah memuntahkan ludahnya dan sudah memakan sarapan nasinya.
“Walah bapak bersyukur banget. Kebetulan malam ini banyak pekerjaan.”Tutur beliau ketika Titin meminta izin kepadanya untuk mengajak Munif, Badrun, Safinah mengajar di surau. (SBJ, 2009: 142).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Pak Tarji. Pak Tarji yaitu sebagai pengajar pengajian anak-anak kecil di surau, pak Tarji yang pada saat itu tidak bisa mengajar anak-anak untuk mengaji dikarenakan banyak pekerjaan. Pak Tarji merasa sangat bersyukur ketika Titin meminta izin kepadanya untuk mengajak Munif, Badrun dan Safinah untuk mengajar ngaji di surau itu.
Mereka berkumpul dalam satu lingkaran. Dipandu oleh Titin, dilantunkannya doa tersebut dengan syahdu. Ya, hal demikian memang menjadi hal yang sangat adat bagi mereka: setiap kali pak Tarji selesai mengajar, maka berkumpulah mereka menjadi satu. Pada sesi terakhir ini, pak Tarji suka mengeluarkan sedikit dongeng, atau petuah-petuah ulama terdahulu. Terkadang juga, pak Tarji menerima pertanyaan dari bocah-bocah itu. (SBJ, 2009: 145).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukkan anak-anak yang mengaji di surau, di mana anak-anak tersebut berkumpul dalam satu lingkaran dan sudah menjadi adat bagi anak-anak tersebut pada saat setiap kali pak Tarji selesai mengajar yaitu berkumpul menjadi satu dalam bentuk lingkaran untuk mendengarkan dongeng atau petuah-petuah ulama tedahulu dari pak Tarji.
Sudah seperempat jam dia mandi. Tak jauh dari kamar mandi yang apabila dilihat dari atas kelihatan siapa yang telanjang itu, duduklah lelaki tengah baya: sopir Safinah. Dia kesal nunggu Munif berlama-lama di sana. Jemari lelaki itu sampai capek menggaruk-garuk kulit kakinya yang gatal digigit nyamuk. Ya, semalam semalam tubuh dia yang kekar, menjadi makanan istimewa bagi nyamuk-nyamuk rumah tua. (SBJ, 2009: 154).
Makna kata dia yang pertama pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif yang pada waktu itu sedang mandi. Sedangkan makna kata dia yang kedua menunjukan sopir Safinah yang merasa kesal menunggu Munif yang berlama-lama di dalam kamar mandi. Akhirnya jemari sopir safinah yang dari tadi menggaruk-garuk kulit kakinya yang gatal berhenti juga karena sudah merasa capek, dimana semalaman tubuh sopir Safinah yang kekar menjadi makanan istimewa bagi nyamuk-nyamuk.
Sarung yang dia sampirkan di tambang kecil, dengan tergesa-gesa dia ambil. Dipakainya tanpa perlu mengenakan kaos yang dia selempangkan juga di tambang itu. Pintu dia dorong. Dan terkesiap sudah seseorang disamping pintu itu untuk berteriak mengagetkannya: “wuiihhh!” (SBJ, 2009: 155).

Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif yang pada waktu itu dengan tergesa-gesa mengambil sarungnya yang disampirkan di tambang kecil dan dipakainya tanpa mengenakan kaos yang juga di sampirkan di tambang kecil itu, kemudian Munif mendorong pintu yang mana pada waktu itu di samping pintu ada seseorang yang siap-siap untuk berteriak mengagetkannya.
Teh yang sudah ditaburi es batu sudah terhidangkan di atas meja tamu rumah Titin. Safinah duduk sambil sebentar-sebentar memencet abjad dalam hapenya. Dia sedang jawab SMS dari mama, yang lagi-lagi nanyain kapan dia pulang. (SBJ, 2009: 179).
Makna kata yang bercetak pada kutipan paragraf di atas menunjukan Safinah, dimana Safinah pada waktu itu sedang menjawab SMS dari mamanya yang lagi-lagi nanyain kapan Safinah mau pulang dari rumah temannya itu. Teman yang dimaksud yaitu Titin.
“Mas mau pulang? Tanya bocah itu. Sambil mengelus-elus rambut Munif.
Tanpa perlu bertanya ulang, apakah dia sudah cuci tangan, Munif menjawab pertanyaannya dengan santun. Dengan nada yang sangat rendah: “Iya.” (SBJ, 2009: 187).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan pada paragraf di atas menunjukan bocah kecil tetangganya Titin yang mengelus-elus rambut Munif sambil menanyakan kepulangan Munif dari desa bocah kecil itu. Akan tetapi Munif membiarkan bocah kecil itu untuk mengelus-elus rambutnya tanpa bertanya ulang apakah bocah kecil itu sudah cuci tangan.
Munif tertawa dalam batin. Semakin erat dia memeluk bocah itu. Semakin erat. Erat, erat, hingga bocah itu berteriak sama seperti Badrun waktu kesandung batu, “aduhh!” (SBJ, 2009: 187).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif pada waktu memeluk erat bocah kecil tetangganya Titin, saking eratnya Munif memeluk bocah kecil itu hingga menyebabkan bocah kecil itu berteriak kesakitan seperti Badrun ketika kesandung batu.
Namun baru selangkah dia menjalankan kaki kanan-kirinya, tiba-tiba saja SMS masuk ke nomor hapenya. (SBJ, 2009: 202).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Munif, dimana Munif yang pada saat itu hendak menemui Patih di kamarnya akan tetapi baru saja Munif melangkahkan kaki kanan-kirinya, tiba-tiba saja ada SMS masuk ke nomor hapenya.
Maka tak jadilah Patih bertutur secara gagu, dengarlah betapa cepatnya Patih menuturkan, seperti orang kebelet ke kamar mandi, “Iza datang. Dia bawa tiga menu makanan. Katanya sih, untukmu. Tapi kamunya nggak ada, jadi diberikan padaku. Terus tadi pagi juga waktu aku berada di kampus, dia datang ke tampat kamu. Dia sediakan beberapa menu makanan pula. Tapi kamunya nggak ada. Akhirnya, tak kasih sedikit taushiya, bahwa lebih baik bersedekah dari pada membawa pulang makanan yang sudah diniatkan untuk diberikan kepada orang. Dia nurut, maka dua hari aku mendapat jaminan makan darinya.” (SBJ, 2009: 204).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Faizah, dimana yang pada waktu itu Patih menceritakan tentang Faizah yang mendatangi kostannya Munif dengan membawakan menu makanan, akan tetapi Munif pria idamannya sedang tidak ada di kostannya. Terus Faizah yang keesokan harinya juga mencari-cari Munif di kampus akan tetapi Munif tidak ditemukan juga. Akhirnya Patih mendatangi Faizah dengan memberikan taushiya bahwa lebih baik bersedekah dari pada membawa pulang makanan yang sudah diniatkan untuk diberikan kepada orang, yang pada akhirnya Faizah memberikan juga menu makanan yang dibawanya kepada Patih.
Badrun bangkit, dia tak lagi marah, namun malah ingin bertanya, “menunya apa?” (SBJ, 2009: 204).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Badrun, dimana Badrun yang tadinya marah kepada Patih akhirnya bangkit dan menanyakan kepada Patih tentang menu makanan apa yang di bawa oleh Faizah pada waktu Faizah datang ke kostannya untuk menemui Munif.
Jadi kronologinya itu, si Iza habis ngerayain ulang tahunnya. Setelah dilihat, kado pemberian temennya itu membludak banyak di dalam kamarnya. Iza yang sosialis banget, maka kepinginlah memberikan kado kepada mbak Rukmini, tetangga sebelah yang tiap kali datang ke pengajian selalu saja pakai jilbab yang itu-itu juga. Dia juga pengen ngasih kado kaos dlaam kepada Munif, lelaki idamannya. Mengapa dia ngasih Munif kaos dalam, bukan sorban atau minyak wangi. Sebab tiap kali Munif jalan pakai kemeja putih, tulang punggungnya kelihatan. “Munif terlalu terlihat kurus,” begitu ucap Iza. (SBJ, 2009: 209).
Makna kata yang bercetak miring pada kutipan paragraf di atas menunjukan Faizah, dimana pada waktu itu Faizah baru saja merayakan ulang tahunnya. Faizah orang yang sosialis banget, pada waktu itu ingin memberikan kado yang isinya jilbab kepada mbak Rukmini tetangganya, selain itu Faizah juga ingin memberikan kado kaos dalam kepada Munif pria idamannya itu.  
Analisis Bentuk dan Fungsi Referensi Personal pada Novel Safinah Berkalung Jilbab
Berdasarkan deskripsi data yang diuraikan di atas, dapat dikelompokkan beberapa bentuk referensi wacana yang terdapat pada novel Safinah Berkalung Jilbab, yaitu : dia, nya, saudara, beliau, kita, mereka.
Dia artinya kata ganti yang menunjukkan orang ketiga dari apa yang dibicarakan oleh penutur wacana. Dalam hal ini penutur wacana secara langsung adalah pengarang. Pengarang novel ini sengaja menceritakan tokoh-tokoh dalam novel sebagai obyek pembicaraan antara pengarang dan pembaca.
Nya. Bentuk kata nya hampir sama dengan bentuk dia. Perbedaanya kata nya diletakkan oleh pengarang menyerta benda atau obyek yang mendahuluinya.
Saudara. Bentuk kata saudara yang terdapat pada novel Safinah Berkalung Jilbab adalah pembaca. Dalam hal ini pengarang sengaja mengajak pembaca seolah-olah pembaca menyaksikan peristiwa yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel.
Beliau, dalam novel ini dimaksudkan untuk memerikan atau mengacu pada tokoh yang disebut dengan maksud untuk menghormati atau menghargai atas kebesarannya, baik atas jasanya maupun keilmuannya, misalnya KH Zaenudin MZ.
Kita. Hal inilah yang menjadikan novel ini menjadi istimewa. Pengarang bukan saja bertutur cerita, juga mengajak pembaca seolah-olah pembaca menyaksikan peristiwa dalam novel yang direka oleh pengarang. Tujuannya agar pembaca menjadi yakin bahwa cerita ini benar terjadi tanpa pengaruh atau campur tangan pengarang. Pengarang meletakan dirinya sebagai orang luar yang menyaksikan peristiwa yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel.
Mereka. Jika pada bentuk kita maksudnya pengarang meyakinkan pembaca bahwa pengarang yang menceritakan tokoh-tokoh novel kepada pembaca. Pada bentuk mereka maksudnya pengarang mengajak pembaca terlibat menyaksikan peristiwa yang dilakukan tokoh-tokoh dalam novel.

1 komentar:

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !