Karangan Deskripsi . Menurut asal-usulnya, kata deskripsi berasal dari bahasa Latin describere, yang diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi description, artinya menggambarkan. Menggambarkan benda atau peristiwa dengan cara memerikan atau mengidentifikasi bagian-bagiannya berikut karakteristiknya. Secara istilah, karangan deskripsi adalah karangan yang menggambarkan atau melukiskan benda atau peristiwa dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah melihat, merasakan, mencium, dan mendengarnya. Karangan jenis ini bermaksud memberikan kesan kepada pembaca sehingga pembaca dapat membayangkan apa yang sedang dibacanya.
Contohnya kita menceritakan suasana alam pegunungan, atau pada waktu kita kali pertama masuk kuliah ingin memberitahukan keadaan kampus kita kepada teman di kampung yang sama sekali belum tahu. Bagaimana cara agar suatu waktu, kalau teman kita yang dari kampung kesasar ke kampus kita, begitu di depan kampus dia berkata, “O, ini mungkin kampus yang diceritakan dalam surat oleh teman kita dahulu.” Apa yang dibayangkan dalam surat itu terbuktikan.
Contoh sederhana yang lain kalau kita akan menceritakan “tahu” (masakan khas Sumedang). Tahu terbuat dari sari kacang kedelai, berbentuk segi empat, berwarna kuning, biasa dimasak dengan cara digoreng, kalau dimakan rasanya renyah. Suatu waktu si pembaca menemukan benda seperti itu, dia akan langsung teringat apa yang telah dibacanya.
Perlu diingat, yang dapat dedeskripsikan itu bukan hanya yang terjangaku oleh pancaindra, melainkan juga segala sesuatu yang dapat dirasakan dan dipikirkan, misalnya rasa takut, cemas, gembira, kasih sayang dan romantisnya berpacaran. Dengan demikian, karangan deskripsi bermaksud memberikan daya bayang atau khayal kepada pembaca tentang sesuatu yang dibancanya. Agar dapat memberikan daya bayang kepada pembacanya, karangan jenis deskripsi harus menggunakan kata-kata yang dapat memancing kesan indrawi (kesan yang berhubungan dengan pancaindra) dan suasana batin (perasaan) pembaca.
Deskripsi, dalam karangan nonilmiah seperti cerpen dan novel, sama dengan penokohan. Bagaimana penulis novel mendeskripsikan seorang tokoh baik dari segi fisik maupun perilakunya sehingga pembaca seolah-olah melihat tokoh itu. Hal tersebut termasuk deskripsi kesan indrawi, kesan suasana batin atau perasaan. Pengarang mendeskripsikan penderitaan atau kebahagiaan yang dialami tokoh tersebut sehingga pembaca seolah-olah ikut merasakannya. Tidak mengherankan apabila ada pembaca novel yang meneteskan air mata pada saat menemukan cerita menyedihkan dalam bacaannya.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh agar sesuatu yang dilukiskan menjadi hidup. Pertama, mengganti suatu obyek. Kedua, melukiskan bagian-bagian penting sedetail mungkin (Suparno, 2007 : 4.7). segala sesuatu di sekeliling kita dapat diamati, seperti hiruk-pikuk kesibukan di pasar, ramainya lalu lintas di jalan raya, nyiur yang melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi, dan lain-lain. Semua itu dapat diamati secara saksama dan tersimpan dalam otak. Kemudian hasil pengamatan itu dilukiskan bagian-bagian pentingnya sedetail mungkin.
Sebagai contoh, kita melukiskan kehidupan orang miskin yang menderita kelaparan. Penderitaan itu harus dilukiskan selengkap-lengkapnya sehingga pembaca dapat membayangkan bahkan merasakan bagaimana kalau dia yang merasakan kelaparan. Agar kita dapat memancing kesan indrawi dan batiniah pembaca dalam mendeskripsikan orang yang menderita kelaparan, kita harus menggunakan kata-kata khusus yang mempunyai kesan tersebut.
Dengan kata-kata seperti tanah gersang, udara panas, kering, tidak ada mata pencaharian, rumah gubuk, tidak mengenyam pendidikan, perut melilit, tangisan anak kecil, rasa haus dan lapar, badan kurus, mewabahnya penyakit busung lapar, sampai pada kematian, pembaca akan terpancing indra penglihatan dan suasana batiniahnya. Seolah-olah pembaca melihat dan merasakan apa yang dialami oleh tokoh atau obyek yang dideskripsikan.
Sebenarnya mendeskripsikan sesuatu tidak hanya dituliskan tetapi juga diucapkan. Pada tahun 80-an sampai akhir 90-an, di stasiun-stasiun radio khususnya Jawa Barat ada program dongeng. Masyarakat begitu antusias pada cara itu. Setiap pukul 16.00 sampai dengan pukul 17.30, mereka berkumpul di rumah masing-masing untuk mendengarkan dongeng. Begitu dalam penghayatan mereka terhadap dongeng dan begitu hebatnya si pencerita mendeskripsikan benda, peristiwa, dan perasaan tokoh, seolah-olah mereka melihat dan merasakan apa yang diceritakan itu.
Lebih hebat lagi reporter sepak bola dalam mendeskripsikan permainan yang sedang berlangsung. Pendengarnya, selain seolah-olah dapat melihat permainan itu, juga dapat terlibat emosinya. Pada waktu reporter mendeskripsikan seorang pemain membawa bola sampai di depan gawang berhadapan dengan penjaga gawang, pendengar sampai ikut menendang-nendang. Apalagi kalau si pembawa bola itu dari kesebelasan yang sedang kita dukung atau dari tim kesayangan kita. Karena itu, jangan duduk di depan pendengar atau penonton sepak bola. Secara tidak disadari kita akan tertendang.
Deskripsi dipakai juga dalam jenis karangan yang lain meskipun berfungsi sebagai alat bantu untuk menghidupkan dan menghindari kebosanan pembaca. Dalam karangan narasi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi, deskripsi digunakan selain untuk menghidupkan dan menghindari kebosanan, juga untuk memperjelas dan menambah keyakinan pembaca terhadap apa yang dipaparkan dalam tulisan (Suparno, 2007: 4.8). Dengan demikian, tidak ada benang merah dalam pemilihan jenis tulisan. Semuanya saling mengisi dan saling mempengaruhi.
Karena terlalu panjang, untuk lanjutannya tentang beberapa pendekatan deskripsi dapat dilihat di sini.
Sumber Pustaka : Jauhari, Heri.(2013). Terampil Mengarang. Bandung : Nuansa Cendekia (hal. 44-47).
wih sangat bagus gan info nya
BalasHapussaya sangat suka terimakasih