Ketika kali pertama saya menggunakan istilah life skill, di dalam naskah pidato pengukuhan guru besar pada 14 Desember 1998, banyak kawan mempertanyakan apa maknanya. Apakah itu sama dengan basic skill dalam konsep pendidikan vokasional atau skill dalam taksonomi Bloom? Jawaban saya saat itu life skill adalah kecakapan hidup, yaitu kecakapan yang diperlukan seseorang untuk dapat sukses dalam kehidupannya, persis seperti yang kita temukan dalam bab Mencermati Orang-Orang Sukses.
Sengaja digunakan istilah “kecakapan” sebagai kata Indonesia (terjemahan) dari “skill” dan bukan “keterampilan”. Hal itu semata-mata untuk menghindari penyempitan arti skill sebagai keterampilan manual. Mengapa demikian? Karena selama ini, istilah keterampilan diasosiakan dengan keterampilan psikomotorik dari Taksonomi Bloom, sehingga maknanya menyempit menjadi keterampilan yang bersifat manual saja. Akibatnya, ketika konsep life skill diperkenalkan kepada sekolah, banyak SD dan SMP yang mengadakan program keterampilan bagi siswa, misalnya siswa SD diajari memelihara itik, membuat keset (untuk membersihkan kaki, sebelum masuk rumah) dan sebagainya. Bukan berarti siswa SD tidak boleh belajar keterampilan manual, tetapi life skill jauh lebih luas dari sekadar keterampilan manual.
Sengaja digunakan istilah “kecakapan” sebagai kata Indonesia (terjemahan) dari “skill” dan bukan “keterampilan”. Hal itu semata-mata untuk menghindari penyempitan arti skill sebagai keterampilan manual. Mengapa demikian? Karena selama ini, istilah keterampilan diasosiakan dengan keterampilan psikomotorik dari Taksonomi Bloom, sehingga maknanya menyempit menjadi keterampilan yang bersifat manual saja. Akibatnya, ketika konsep life skill diperkenalkan kepada sekolah, banyak SD dan SMP yang mengadakan program keterampilan bagi siswa, misalnya siswa SD diajari memelihara itik, membuat keset (untuk membersihkan kaki, sebelum masuk rumah) dan sebagainya. Bukan berarti siswa SD tidak boleh belajar keterampilan manual, tetapi life skill jauh lebih luas dari sekadar keterampilan manual.
Penggunaan kata life skill dalam makna lain, juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 26, ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Rumusan tersebut mengesankan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan bentuk “program pendidikan”, seperti program pendidikan kepemudaan dan sebagainya. Jadi bukan suatu substansi pendidikan.
Seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, pada buku ini, pendidikan kecakapan hidup (life skill education) dimaknai sebagai substansi pendidikan, yaitu pendidikan yang mengajarkan kecakapan untuk menggapai kesuksesan hidup, sebagaimana digambarkan pada bab Mencermati Orang-Orang Sukses. Substansi life skill dapat masuk ke berbagai program pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan memang menyiapkan anak didik agar sukses di kehidupannya kelak.
Saya merasa heran ketika pada tahun 2001 istilah life skill tiba-tiba muncul dan cepat populer di Indonesia dan bahkan dari penelusuran di media internet, ternyata juga banyak negara yang sudah menggunakan istilah itu dengan arti yang berbeda-beda. Dalam dunia maya (internet) kini ada beberapa situs yang namanya terkait dengan life skill. Bahkan ada banyak situs yang secara khusus memuat berbagai hal yang terkait dengan life skill, misalnya program life skill untuk remaja dan bahkan ada program life skill khusus untuk istri pelaut. Unesco juga pernah mensponsori pertemuan yang membahas program-program life skill education, salah satunya di Seoul Korea Selatan, pada Desember 2003.
Salah satu negara yang relatif sangat serius dalam mengembangkan pendidikan kecakapan hidup life skill education) adalah Hongkong. Melalui Basic Education Curriculum Guide : Building in Strength 2002, Hongkong tampak berusaha menyempurnakan pendidikannya dengan memasukan life skill ke dalamnya. Dalam naskah tersebut dimuat, apa yang mereka sebut sebagai National Learning Goals, yang ternyata isinya juga mirip dengan life skill yang kita hasilkan lewat proses induksi, seperti diuraikan di bab terdahulu.
Negara lain yang juga getol mengembangkan konsep pendidikan yang mirip life skill adalah New Zealand. Dari berbagai dokumen, diketahui bahwa mereka telah merumuskannya pada tahun 1993, dalam The New Zealand Curriculum Framework. Mereka menyebutnya dengan istilah ”the essential skills”, yang ingin dikembangkan melalui pendidikan di negara tersebut. Dalam dokumen tersebut tertulis, the essential skills merupakan kecakapan yang diperlukan generasi muda, untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan di masyarakat.
Walaupun makna life skill yang dipakai oleh para pengguna dari berbagai negara berbeda-beda, tetapi jika dicermati mengandung satu makna universal, yaitu kecakapan yang diperlukan untuk menghadapi problema kehidupan dan kemudian secara aktif dan kraetif memecahkannya. Bukankah pengertian itu identik dengan pengertian yang kita gunakan pada bab Mencermati Orang-Orang Sukses? Bukankah untuk sukses, memang diperlukan kecakapan untuk menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan secara kreatif? Bahkan beberapa ahli menyatakan, diperlukan kecakapan untuk mengantisipasi akan adanya masalah dan kemudian mengubah masalah tersebut menjadi manfaat. Oleh karena itu, dalam buku ini, life skill tetap diartikan sebagai kecakapan yang diperlukan untuk menggapai kesuksesan hidup.
Kata “sukses” mengandung makna yang luas dan tidak tepat sama rinciannya bagi setiap orang. Seperti disinggung pada bab sebelumnya, tentu orang tua tidak ingin anaknya hanya sukses dalam aspek karir dan materi, tetapi gagal dalam membina rumah tangga. Orang tua juga tidak ingin anaknya sukses dalam membina rumah tangga dan materi, tetapi tidak disenangi oleh masyarakat sekitarnya. Mereka tidak ingin anaknya sukses dalam karir dan kaya, tetapi tidak taat beragama. Sebaliknya orang tua tidak puas jika anaknya taat menjalankan ibadah ritual, seperti salat, puasa, dan membayar zakat serta telah melaksanakan ibadah haji, tetapi gagal dalam karier dan berumah tangga.
Jika peran manusia dalam kehidupan dapat diidentifikasi, kita dapat melakukan analisis untuk menemukan kecakapan hidup yang diperlukan untuk melaksanakan peran tersebut. Jika kecakapan hidup dapat ditemukan, maka kita dapat menyiapkan pola pendidikan yang mampu mengembangkan kecakapan tersebut, baik itu untuk dilaksanakan di keluarga maupun di sekolah. Dengan cara itu, pendidikan yang kita lakukan akan benar-benar mengembangkan kecakapan yang diperlukan untuk memerankan diri dalam kehidupan di masa datang.
Demikian makna life skill yang benar menurut Prof. Dr. Muclhas Samani, yang selama ini diartikan oleh sebagian besar orang (praktisi pendidikan) sebagai keterampilan manual, termasuk saya sebelum membaca buku ini. Mungkin Anda juga. Sengaja tulisan ini saya posting sekalipun tentang life skill sudah lama dibicarakan, karena menurut saya, biarkan kurikulum setiap waktu berubah, tetapi esensi life skill tidak mungkin ditiadakan dari kurikulum manapun.
Tulisan ini dikutip dari :
Buku “Menggagas PENDIDIKAN BERMAKNA Integrasi Life Skill – KBK – CTL – MBS
Karangan : Prof. Dr. Muclhas Samani, judul sub bab "Meluruskan Makna Lfe Skill" halaman : 69 – 73. Penerbit SIC. Surabaya. 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !