Kamis, 07 Februari 2013

Fungsi Pers Mandul Oleh Oligarki Kekuasaan


Saat ini kita prihatin dengan demokrasi di daerah kita masing-masing. Sekarang ini demokrasi dimonopoli dan disabotase untuk kepentingan kelompok tertentu. Ini disebut oligarki kekuasaaan, menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan salah satu kelompok tertentu. Ini menutup peluang masyarakat untuk mendapatkan hak berdemokrasi. Jika ini yang terus tejadi dari penguasa ke penguasa, maka bagaimana  mengembalikan dan menegakkan makna demokrasi sepenuhnya pada makna yang benar. Setelah para mahasiswa “merengked” dengan gertakan intimidasi antek-antek penguasa, masa iya pers pun mandul karena ikut-ikutan numpang hidup di ketiak penguasa. Padahal, gerakan mahasiswa seringkali dipicu oleh informasi yang dibacanya dari koran. Betulkah pers mandul karena terkooptasi oligarki? Berikut ini pengakuan dan kesaksian salah seorang wartawan pers yang diungkapkan di Buku Banten Bangkit terbitan Gong Publishing.
Dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 UU 40/1999 disebutkan, pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi. Ketika menjalankan fungsi lembaga ekonomi itulah pers masuk ke ranah industri yang selalu mempertimbangkan untung dan rugi. Tentu saja untung dan rugi itu akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan manajemen lembaga pers itu sendiri. Baik itu koran, televisi, maupun radio, arena dipandang sebagai industri, maka layaknya sebuah perusahaan yang memproduksi barang, pers harus mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Paling utama tentu saja dari iklan dan oplah penjualan koran, atau rating siar untuk televisi dan radio.
Pandangan umumnya, semakin banyak pemasang iklan, maka tingkat kesejahteraan industri pers akan semakin terjamin. Pengiklan itu terbagi dalam dua hal, yakni pemerintah dan kalangan swasta. Khusus untuk pemerintah di tingkat daerah, Provinsi Banten misalkan, jalinan kerja sama antara institusi pers dengan pemerintah daerah sangat dinamis. Asumsinya, 60 % pemasok iklan bagi koran di daerah adalah pemerintah daerah, baik itu kepala daerah, DPRD, SKPD, kecamatan, hingga ke tingkat terbawah. Hubungan yang dibangun lewat kerja sama iklan inilah yang secara tidak langsung menghambat kebebasan pers. Wartawan akan menjadi rikuh manakala harus memberitakan suatu perkara atau kasus yang berhubungan dengan salah satu pelanggan iklan setia di korannya. Bahkan pada kenyataannya, kebanyakan wartawan di Banten merangkap jabatan sebagai calo iklan. Ada ketentuan, dari iklan yang diperoleh, wartawan mendapat komisi 10 sampai 20 %. Praktek seperti ini berlaku hampir di semua koran, apapun manajemen perusahaannya.
Musuh kebebasan pers berikutnya adalah juraganisme. Ini merujuk pada afiliasi politik dan bisnis owner perusahaan pers. Sudah menjadi rahasia bersama, pucuk pimpinan perusahaan pers baik langsung maupun tidak langsung memperlihatkan sikap politiknya terhadap penguasa. Ada yang terang-terangan mendukung, mengambil langkah moderat, ada pula yang menyatakan sebagai oposisi meskipun jumlahnya terbatas.
Di Banten itu juga terjadi. Kabupaten/kota, maupun provinsi mempunyai kepala daerah yang berkepentingan dengan pers untuk menjalankan roda pemerintahan sekaligus melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya. Maka, pendekatan terhadap pucuk pimpinan pers sudah dan akan terus dilakukan, bagaimanapun caranya. Kemesraan penguasa dengan manajemen perusahaan pers biasanya dibingkai oleh konsep stabilitas keamanan yang kondusif. Berita-berita yang proaktif, menyerang, menyalahkan pemerintah, mengangkat kasus hukum pejabat, dipandang sebagai stimulus untuk menghadirkan gejolak di daerah. Ujung-ujungnya stabilitas kawasan tidak terkendali. Atas pemahaman itulah mereka kemudian bersekutu. Lagi-lagi wartawan yang menemui kesulitan di lapangan. Sulit dalam pengertian menyajikan berita yang sesuai selera juragan, tapi sisi lain hati kecilnya mengatakan tidak. Itulah salah satu seni menjadi wartawan.

Semoga bermanfaat.

6 komentar:

  1. yang masih bs nulis seperti itu tentunya wartawan yg masih punya idealis, namun sejalan dengan oligarki tsb.akhirnya dia juga memerangkapkan diri di dalamnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, semua orang mungkin merasakan bahwa kadang menemui kondisi "nabrak tembok" tak berdaya !

      Hapus
  2. Joy Johari sebagai Dewan Kehormatan karna,,,,,,,hikhik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, ini kebiasaan orang Indonesia, belum selesai ngomong udah ketawa sendiri ! wkwkwkwk.....nuhun Kang sdh nyaba ke blog ini !

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat. Silahkan tinggalkan komentar, mohon jangan mencantumkan link live atau spam ! Berkomentarlah dengan bahasa yang santun !